Senin 07 Oct 2024 19:20 WIB

Saat Israel Takut Pasukan TNI ke Lebanon

Israel menolak negara Muslim bertugas di Lebanon pada 2006.

Prajurit TNI  yang tergabung dalam Kontingen Garuda XXIII-L/UNIFIL berbaris usai mengikuti upacara pelepasan pasukan, di Semarang, pada 2017.
Foto: ANTARA FOTO
Prajurit TNI yang tergabung dalam Kontingen Garuda XXIII-L/UNIFIL berbaris usai mengikuti upacara pelepasan pasukan, di Semarang, pada 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Serangan Israel ke Lebanon dengan dalih menumpas kelompok Hizbullah menempatkan Pasukan Perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL) di tengah kecamuk perang. Pasukan TNI yang tergabung dalam satuan tersebut ternyata sempat ditolak kehadirannya di Lebanon oleh Israel.

Penolakan itu dilayangan Israel pada 2006, menjelang keberangkatan perdana Kontingen Garuda (Konga) XXIII-A/TNI untuk bergabung dalam UNIFIL. TNI kala itu bersiap mengirim 125 pasukan penjaga perdamaian asal Indonesia yang dikirim sebagai tim pendahulu (advance) ke Timur Tengah. Rencananya Indonesia akan mengirim sebanyak 1.000 pasukan TNI untuk bertugas di Lebanon. 

Baca Juga

Kala itu, seperti dilansir the New York Times pada 1 September 2006, Israel mengatakan pihaknya akan menentang tentara dari negara-negara Muslim yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan mereka. Sikap itu berdampak pada tentara dari Indonesia, Malaysia dan Bangladesh yang akan bergabung dengan UNIFIL.

Di Tel Aviv, juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Mark Regev, saat itu menyatakan posisi Israel dengan cara yang tidak langsung memberikan penolakan. “Kami pikir semua negara yang ingin berkontribusi harus mempunyai hubungan dengan kedua belah pihak, dengan kami dan dengan Lebanon,” kata Regev.

Dalam menyuarakan kekhawatiran mereka, para pejabat Israel mengatakan bahwa negara-negara yang tidak secara resmi mengakui Israel akan mengalami kesulitan dalam mengirimkan tentara yang bersikap adil dan tidak condong ke arah Hizbullah.

Di tengah penolakan Israel, panglima TNI saat itu, Marsekal Djoko Suyanto, menegaskan pasukan perdamaian TNI tetap akan berangkat ke Lebanon. Bila saat ini pasukan tersebut belum juga berangkat, hal itu semata karena sinyal pemberangkatan belum turun, baik dari PBB maupun pemerintah.

''Apapun yang terjadi, bahkan dengan adanya penolakan Israel, TNI telah siap berangkat,'' kata Djoko kepada wartawan di Jakarta, pada (22/8/2006). Djoko percaya, waktu pemberangkatan terbaik adalah jika perdamaian telah disetujui kedua pihak yang bersengketa. ''Pemerintah tentu telah memikirkan. Kalau belum berdamai, ya kita tidak akan ke sana dulu,'' kata Panglima TNI. 

Senada dengan Djoko, menteri pertahanan saat itu, Juwono Sudarsono, mengatakan tidak ada masalah dengan pemberangkatan pasukan TNI sebagai penjaga perdamaian PBB tersebut. Menanggapi keberatan Pemerintah Israel sehubungan dengan tidak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan negara Zionis itu, Juwono bahkan mengatakan keberatan itu sebagai cara yang tidak masuk akal guna mengulur waktu.

Menhan, yang memberikan pernyataan tersebut kepada wartawan di Kementerian Pertahanan, bahkan menyatakan, Israel sama sekali tidak berhak memilah negara mana saja yang bisa menjadi anggota pasukan perdamaian PBB. Hak tersebut, menurut Juwono, sepenuhnya berada di tangan organisasi bangsa-bangsa tersebut.

Tak lupa Juwono mengingatkan, menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB bukan merupakan pengalaman baru bagi Indonesia. Pada 1957 dan 1960, misalnya, Kontingen Garuda I dan II telah diberangkatkan ke Mesir, saat negara-negara Arab bersengketa dengan Israel, serta ke Kongo. ''Dan Indonesia tidak punya hubungan diplomatik, baik dengan Israel maupun Kongo,'' kata Juwono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement