Kamis 19 Sep 2024 11:51 WIB

Kesaksian Korban Kekejaman Massa PKI 1948

Sejumlah ulama dan santri dibantai para pendukung PKI, 76 tahun silam.

Monumen Soco di Magetan, Jawa Timur. Ini dibangun sebagai pengingat akan peristiwa Pemberontaka PKI 1948.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain Monumen Soco, terdapat tugu serupa di Rejosari, Kawedanan, Magetan. Terpatri di sana, sebanyak 26 nama korban keganasan massa Front Demokrasi Rakyat-Partai Komunis Indonesia (FDR/PKI). Satu nama ulama yang ada pada monumen itu ialah KH Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussu'ada Rejosari, Madiun.

Kiai Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Ketika dimasukkan ke dalam sumur, Kiai Shofwan masih sempat mengumandangkan azan. Dua putranya, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani, juga menjadi korban. Keduanya dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.

Baca Juga

Desa Kresek, Wungu, Madiun, juga menjadi saksi kebengisan para pemberontak. Berdasarkan data yang didapat, ada 17 orang yang jasadnya ditemukan dalam sumur desa tersebut. Sumur inilah yang menjadi lokasi bagi para simpatisan FDR/PKI untuk membantai korban-korbannya.

Buku Lubang-Lubang Pembantaian mengutip kesaksian seorang korban yang selamat dari pembantaian, Rono Kromo (89 tahun, saat buku itu disusun). Rono ikut membantu mengangkat jenazah para korban di loji pabrik gula, Rejosari, Gorang Gareng—10 km arah timur Magetan. “Waktu saya masuk ruangan (loji), kaki saya terasa …nyess… ketika menginjak darah di lantai,” katanya. Menurutnya, cairan darah di sana mencapai setinggi mata kaki.

Buku yang sama juga merangkum kesaksian dari KH Sulaiman Zuhdi, ulama Pesantren Mojopurno, Magetan. Ia mengaku sempat menyusupkan seorang koleganya untuk mengikuti rapat FDR/PKI di Madiun sepekan sebelum pecah Pemberontakan 1948. Dari mata-matanya itu, diketahui bahwa orang-orang komunis memang merencanakan penyerbuan besar-besaran di Madiun dan sekitarnya.

Seorang simpatisan FDR/PKI akan diganjar hadiah Rp 1.000 tiap berhasil membunuh seorang anggota Masyumi. “Kalau yang dibunuhnya seorang kiai, maka bayarannya Rp 20 ribu,” katanya menirukan keterangan kawannya itu. Tentu saja, nilai rupiah dahulu dan kini—tahun 2021—tidak bisa disamakan.

photo
Para pengunjung melihat patung yang menggambarkan kekejaman PKI yang beraksi dalam geger Madiun 1948. Monumen di Kresek ini menjadi pengingat akan peristiwa historis yang kelam itu. - (DOK ANTARA Siswowidodo)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement