Kamis 29 Aug 2024 10:25 WIB

Asosiasi Ojol Minta Pemerintah Intervensi Tarif dari Aplikator

Aksi perang tarif justru hanya menguntungkan aplikator.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Indira Rezkisari
Hari ini, ribuan penarik ojek online (ojol) akan berunjuk rasa di tiga titik di Jakarta.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Hari ini, ribuan penarik ojek online (ojol) akan berunjuk rasa di tiga titik di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono mengatakan pengemudi ojek online (ojol) menuntut perusahaan aplikator atau aplikator untuk memikirkan nasib para ojol. Igun mengatakan demo hari ini dari Koalisi Ojol Nasional (KON) merupakan aksi lanjutan dari sejumlah tuntutan yang digelar sebelumnya.

"Khusus hari ini fokusnya kepada Kementerian Kominfo, rekan-rekan dari KON akan meminta kepada Kominfo agar tarif dari kurir atau pengantaran makanan itu diambil alih oleh pemerintah," ujar Igun saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (29/8/2024).

Baca Juga

Igun menyampaikan aplikator selama ini bersikap semena-mena dalam penentuan tarif kurir dan pengantaran makanan. Igun mengatakan aksi perang tarif justru hanya menguntungkan aplikator.

"Ini merugikan dari pengemudi ojol. Dengan perang tarif ini, tarif makin murah, pendapatan juga makin kecil untuk ojol. Jadi lebih baik diambil alih oleh pemerintah, itu tuntutan utama fokusnya," ucap Igun.

Igun mengatakan ojol juga meminta aplikator mengikuti aturan Kominfo terkait potongan komisi sebesar 20 persen. Igun menyampaikan besaran potongan komisi dari ojol terkadang bisa mencapai 25 persen atau lebih.

"Ini pasti merugikan, alasannya dari perusahaan aplikasi, kalau potongan itu digunakan dikembalikan kepada si drivernya dalam bentuk promo-promo," lanjut Igun.

Igun mengatakan ojol tidak pernah diajak bicara mengenai hal tersebut. Igun memastikan ojol juga tidak akan menerima skema potongan tersebut, meski dengan embel-embel promo sekali pun.

"Kita hanya menginginkan potongan itu sebenarnya idealnya maksimal adalah 10 persen hingga 15 persen. Ini sudah menyalahi aturan, tapi pemerintah juga tidak bisa berbuat apa-apa selama ini," kata Igun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement