Jumat 19 Jul 2024 22:11 WIB

Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Rokok Jangan Sampai Suburkan Rokok Ilegal

Banyak perokok yang mencari alternatif lebih murah untuk tetap memenuhi kebiasaan.

Bea Cukai Bandar Lampung dan Kanwil Bea Cukai Sumatera Bagian Barat (Sumbagbar) musnahkan 40 juta batang rokok ilegal di Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung pada Selasa, 25 Juni 2024.
Foto: Bea Cukai
Bea Cukai Bandar Lampung dan Kanwil Bea Cukai Sumatera Bagian Barat (Sumbagbar) musnahkan 40 juta batang rokok ilegal di Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung pada Selasa, 25 Juni 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM & PPKF) tahun 2025 mencantumkan rencana untuk melakukan intensifikasi kebijakan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), salah satunya melalui penyederhanaan layer.

Penyederhanaan layer atau struktur tarif cukai rokok dinilai berpotensi menyuburkan rokok ilegal. Penyederhanaan tarif cukai ini dianggap akan membuat konsumen yang terbebani dengan kenaikan harga ini berpotensi lari ke pasar rokok ilegal.

Baca Juga

Menurut Wawan Hermawan, akademisi UNPAD, penyederhanaan tarif cukai ini akan membuat produsen besar mendominasi pasar, sehingga hanya rokok dengan harga yang relatif mahal saja yang akan tersedia.

"Harga rokok (legal) dari 25-30 ribu rupiah dibanding (rokok ilegal) yang 10-15 ribu rupiah sangat menurunkan minat terhadap rokok legal. Jadi, merokok rokok legal menjadi suatu kemewahan bagi kalangan bawah atau 40 persen masyarakat dengan pendapatan terendah," ujar Wawan.

Dengan adanya tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat, banyak perokok yang mencari alternatif lebih murah untuk tetap memenuhi kebiasaan mereka, yang pada akhirnya meningkatkan konsumsi rokok ilegal maupun sigaret kretek tangan (SKT). Jumlah perokok di kalangan pendapatan rendah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perokok di kalangan penghasilan menengah tinggi.

"Menurut saya, yang utama adalah harga rokok yang sangat tinggi relatif terhadap pendapatan masyarakat. Ini di-drive oleh prevalensi merokok yang masih tinggi dan budaya rokok sebagai alat sosial di masyarakat. Selain itu, penegakan hukum terhadap produsen rokok juga masih lemah," tambah Wawan.

Terkait data rokok ilegal, survei yang dilakukan oleh Indodata selama periode 13 Juli hingga 13 Agustus 2020 di 13 kota provinsi di Indonesia mengungkapkan bahwa 28,12 persen dari 2.500 responden di Indonesia mengonsumsi rokok ilegal. Direktur Eksekutif Indodata, Danis TS Wahidin, menjelaskan bahwa survei ini dilakukan untuk mengkaji hubungan antara tingginya cukai rokok resmi dan peredaran rokok ilegal.

"Kenaikan harga rokok memengaruhi perilaku perokok, tapi tidak berhenti merokok. Yang terjadi adalah peralihan dari rokok premium ke rokok standar, bahkan masyarakat perokok itu berpindah menjadi mengonsumsi rokok ilegal," kata Danis Minggu (24/10/2021).

Danis juga menambahkan bahwa jika konsumsi rokok ilegal tersebut dikonversi dengan pendapatan negara yang hilang, angkanya bisa mencapai Rp53,18 triliun. Temuan ini menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah.

Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah komprehensif untuk mengatasi masalah ini, termasuk memberikan dukungan lebih kepada industri rokok rumahan serta memperketat pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, masalah ini dapat diatasi secara efektif demi kesejahteraan ekonomi dan kesehatan masyarakat.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement