REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam konteks historiografi Nusantara, Sumatra Selatan bukan hanya nama bagi sebuah provinsi. Wilayah yang diistilahkan dengan itu, dahulu kala, juga meliputi Bangka-Belitung, Jambi, Bengkulu, hingga Lampung kini.
Menurut buku Sejarah Daerah Sumatra Selatan yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991/1992), awal peradaban di Sumatra Selatan dapat ditelusuri sejak zaman batu tua (paleolitikum). Berabad-abad kemudian, kemasyhuran wilayah ini mencapai puncaknya kala berada di bawah pemerintahan negara maritim, Imperium Sriwijaya.
Dalam rentang waktu yang sama, pada abad kedelapan, orang-orang Islam juga mulai ada di Sumatra Selatan. Hal itu diungkapkan Jajat Burhanudin melalui bukunya, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017).
Kedatangan Islam di Nusantara tidak lepas dari kedaulatan Sriwijaya di jalur maritim Samudra Hindia. Kerajaan ini menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Arab, Persia, India, dan Cina. Nama lain Sriwijaya bagi orang-orang Arab dan Persia adalah Zabaj atau Zabag, sedangkan bagi masyarakat Cina saat itu istilahnya Sanfoqi.
Sriwijaya sering mengirimkan utusan kepada kaisar Cina untuk meningkatkan hubungan diplomatik dan perniagaan. Fakta yang menarik adalah, berdasarkan sumber-sumber Cina, beberapa utusan Sriwijaya untuk Dinasti Song ternyata menyandang nama Muslim.
Misalnya, Ali Shadi (Li Shu ti) yang tiba di Cina pada 960, Ali Leyli (Li Li lin) pada 962, Ali Hamid (Li He Mo) pada 971, atau Ali Badi (Li Mei di) pada 1008. Bagaimanapun, Sriwijaya mengambil Buddha sebagai kepercayaan resmi sehingga wajar dakwah agama-agama selainnya kurang begitu berkembang.
Pada akhir abad ke-13, pengaruh Sriwijaya mulai memudar. Dominasi Jawa mulai merasuki Sumatra Selatan. Palembang dapat dikuasai Majapahit sejak 1377. Kurang lebih satu abad lamanya imperium yang berpusat di Mojokerto, Jawa Timur, ini mengendalikan politik dan ekonomi wilayah tersebut.