Selasa 02 Jul 2024 08:22 WIB

Pelajaran Kematian Zhang Zhi Jie, Mendesaknya Pengetahuan Kegawatdaruratan dan Alat AED

Automated External Defibrillator (AED) wajib digunakan tenaga medis di event olahraga

Ucapan duka cita dari PBSI atas meninggalnya Zhang Zhi Jie.
Foto:

Saat itu, seingat saya, ada pertandingan sepak bola--mungkin laga ekshibisi--yang melibatkan PNS dan pejabat dari Kantor Wali Kota Binjai. Salah seorang di antaranya bertubuh agak gemuk dengan perut membuncit. Bapak ini mencoba mengikuti arah bola, berlari turun naik, tapi dengan kecepatan minimalis. Sampai suatu momen hendak mengejar bola, ia ambruk.

Orang-orang mengerubungi. Penanganan tak jelas. Andalan orang Indonesia adalah minyak angin yang tampaknya diberikan juga ke Bapak ini. Saya tak bisa pastikan. Namun yang pasti, ada jeda waktu cukup lama mulai Bapak ini kolaps sampai diangkut ke rumah sakit. Jarak Lapangan Merdeka dari RSU dr Zoelham hanya 500 meter, tapi nyawa Bapak ini tak tertolong karena penanganan pertama yang tak tepat.

Peristiwa kedua terjadi saat salah satu rekan saya dibawa ke RS karena mengalami serangan jantung setelah bermain dalam turnamen, yang kebetulan saya menjabat sebagai ketua panitia pelaksananya. Apesnya, saat itu saya tak berada di lapangan.

Beruntung, serangan jantung ini termasuk ringan dan terjadi setelah pertandingan usai. Rekan-rekan saya yang proaktif cepat menangani dengan melarikannya ke rumah sakit terdekat. Namun saya sempat panik juga ikut mendampingi teman tersebut menjalani operasi pemasangan ring di jantungnya di RS Harapan Kita. Alhamdulillah, sudah satu dekade lebih sejak kejadian itu, teman saya ini dalam kondisi sehat dan masih bisa bermain bola kembali.

Namun, ada juga rekan wartawan lain yang meninggal dunia saat bermain bulu tangkis di lapangan Kemenpora. Saya kebetulan tak berada di sana saat kejadian. Hanya mendengar cerita memilukan senior kami tersebut ambruk di tengah permainan dan mengembuskan nafas terakhir setelah mendapatkan pertolongan pertama dan bantuan tabung oksigen dari petugas medis yang ada di Kemenpora.

Berikutnya, Ricky Yacobi meninggal ketika bermain sepak bola. Saya cukup dekat dengan eks penyerang timnas Indonesia itu karena kami sama-sama berasal dari Sumatera Utara. Candaan khas Medan selalu terlontar saat kami bersua. Jelas saya sangat bersedih ketika ia wafat.

Terakhir ketika Markis Kido berpulang saat bermain bulu tangkis dengan sesama rekannya eks penghuni Pelatnas Cipayung. Saya sempat cukup intens meliputnya pada masa jayanya, meski hanya sebentar. Kematiannya mengejutkan saya. Apalagi beberapa waktu sebelum itu, saya sempat bertemu dengannya di Mall depan kantor ketika jam makan siang. Kami mengobrol sebentar dan berfoto bersama.

Dua hal menjadi catatan saya, yakni minimnya pengetahuan masyarakat awam perihal Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD). Bahkan mantan atlet pun belum tentu punya pengetahuan memadai dan mumpuni jika menghadapi situasi ini. Termasuk kami para wartawan olahraga yang seharusnya punya kemampuan untuk itu.

Materi PPGD ini mencakup penanganan pertama untuk perdarahan dan syok, luka, cedera patah tulang dan otot rangka, cedera kepala, leher dan spinal, luka bakar, paparan suhu ekstrem, serta awal kedaruratan medis (stroke, serangan jantung, pingsan, dan lainnya).

Biaya mengikuti PPGD ini mencapai jutaan. Tak heran, hanya kalangan tertentu yang punya keterampilan ini, terutama yang bersinggungan dengan pekerjaan. Biaya pelatihan umumnya ditanggung kantor tempat mereka bekerja. Padahal PPGD ini amatlah penting, karena situasi gawat darurat ini bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja.

Menurut saya, pemerintah seharusnya menggencarkan pelatihan PPGD ini. Semakin banyak masyarakat awam yang paham, semakin membantu tenaga medis untuk penanganan pasien gawat darurat.

Sering kita lihat orang mengangkat korban kecelakaan lalu lintas dengan serampangan, dengan kepala tak tertopang baik, padahal semestinya tak seperti itu. Salah mengangkat saja bisa memperberat cedera kepala, leher, dan spinal. Belum lagi penanganan selanjutnya sampai diangkut ke rumah sakit harus mengikuti prosedur yang tepat.

Yang kedua adalah penyediaan AED di tempat-tempat umum, terutama di arena olahraga. AED sifatnya wajib digunakan tenaga medis saat bekerja di event-event olahraga dalam skala apa pun. Andi Kurniawan, dokter spesialis kedokteran olahraga yang belakangan kerap aktif menjadi penanggung jawab kesehatan pada event lari besar nasional, juga menegaskan ini. Menurut dokter Andi, AED seharusnya diperlakukan layaknya tabung pemadam kebakaran, wajib di tempat-tempat umum dan harus ada di semua gedung.

Tahun lalu, saya sempat ngobrol singkat dengan salah satu anggota DPRD DKI Jakarta soal ini. Sang anggota dewan ini mengatakan, penyediaan AED dia area publik Kota Jakarta ini merupakan salah satu program kerja yang ingin dicapainya. Jika tak bisa mencakup semua, minimal di pusat-pusat kegiatan olahraga dan di tempat yang ramai, AED harus tersedia. Ia meminta doa saya kala itu agar programnya ini bisa terwujud.

Sebab, bukan perkara mudah menyediakan AED dalam jumlah besar karena harganya yang cukup mahal, mulai 20 jutaan sampai 100 jutaan. Sementara kesadaran pentingnya alat ini masih kurang di pemangku kebijakan karena penggunaannya yang insidentil dan kebutuhannya mungkin dianggap tak begitu mendesak. Padahal, ini menyangkut nyawa manusia.

Berbeda...

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement