Rabu 26 Jun 2024 07:33 WIB

Akademisi: Politik Identitas Meredup dalam Pilpres 2024

Mengapa politik identitas meredup dalam Pemilu 2024, dan apa implikasinya?

Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini (tengah, berbatik merah) dalam diskusi Islam dan demokrasi. Turut hadir antara lain, Prof Eunsook Jung dari University of Wisconsin.
Foto:

Jung memandang, transaksi di tingkat elite politik meningkat pada Pemilu 2024. Mereka cenderung mengesampingkan perbedaan-perbedaan ideologis demi aliansi baru antara elite nasionalis dan religius.

Sementara itu, negara tidak memiliki kekuatan pemersatu Islam. Alhasil, kelompok Islam lebih berfokus pada membangun kekuatan akar rumput daripada keterlibatan politik langsung.

“Selain itu, tidak ada isu yang memecah belah terkait Islam dalam pemilu ini meskipun ada protes terkait Palestina. Faktor-faktor ini menjelaskan mengapa populisme Islam absen dalam pemilu kali ini,” papar Jung.

Banyak yang berpendapat bahwa kandidat bergerak ke tengah untuk menarik pemilih yang lebih luas. Namun, apakah mereka akan tetap di tengah, mengingat sejarah dan pragmatisme politik mereka.

“Meskipun ada kemunduran demokrasi, Indonesia masih dianggap sebagai demokrasi terbaik di Asia Tenggara. Dengan masyarakat sipil yang kuat dan lembaga pendidikan yang penting, demokrasi Indonesia masih memiliki potensi untuk tetap kokoh” tegasnya.

Dosen Universitas Paramadina Dr Sunaryo mengatakan, runtuhnya Orde Baru pada 1998 membuka harapan bagi demokratisasi di Indonesia. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi cita-cita, yakni politik yang lebih terbuka, penguatan gerakan-gerakan masyarakat madani (civil society), dan terciptanya pemerintahan yang baik (good governance).

Pada periode 1999-2004, menurut Sunaryo, Indonesia sudah menikmati keterbukaan politik. Namun, belakangan demokrasi dan politik mengalami kemunduran.

"Sistem politik yang terbuka ternyata tidak melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang diharapkan atau yang terbaik dengan prinsip meritokrasi. Sistem ini diokupasi oleh para kaum pemodal yang bisa membeli suara," kata Sunaryo.

Ambang batas parlemen (parlementary threshold) tidak selalu berjalan mulus. Ada situasi dimana rakyat semakin gamang untuk tetap seperti itu dalam konsekuensi.

Sementara itu, gerakan-gerakan civil society atau lembaga swadaya masyarakat (NGOs) terus mengalami pelemahan. Untuk mendapatkan donor dari pihak penyandang dana (funding), mereka harus mendapatkan persetujuan dari kementerian. Artinya, mereka mesti sejalan dengan pemerintah.

“Sehingga, di sini menjadi EO (event organizer) dan menjalankan proyek dari pemerintah, dan sangat sedikit untuk bertahan” tegasnya.

Alhasil, dari ketiga cita-cita demokratisasi di Indonesia pasca-Orde Baru, "hanya" tersisa harapan pada penguatan good governance. Sayangnya, yang disebut itu pun kini mengalami keterpurukan. Indikasinya antara lain adalah masih tingginya persepsi korupsi di Indonesia. Bukan hanya trik-trik korupsi yang kian canggih, wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun semakin dikurangi.

“Demokrasi sudah selesai dalam konteks tersebut sehingga penguatan good governance juga sangat penting, di saat good governance juga mengalami keterpurukan," kata Sunaryo.

 

Ormas Islam cenderung jadi stempel penguasa ....

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement