Senin 24 Jun 2024 11:50 WIB

Depopulasi di Jepang-Korsel, Potensi Resesi Seks di Indonesia, dan Warning Kiai Ma'ruf

Pemerintah Indonesia mewaspadai ancaman depopulasi pada 2045.

Pekerja melintas di pelican crossing di kawasan Perkantoran Sudirman, Jakarta, Rabu (26/4/2023).
Foto:

Potensi depopulasi telah menjadi kajian serius di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Potensi depopulasi bisa terjadi salah satunya karena adanya resesi seks seperti yang terjadi di Thailand maupun Korsel. BKKBN memprediksi, butuh lama bagi Indonesia untuk mengalami fenomena resesi seks seperti yang di Thailand maupun Korea Selatan. Meski ia tak menampik potensi itu ada.

"Ada, potensi (untuk kita resesi seks) itu ada. Karena usia pernikahan kita semakin lama semakin meningkat," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat ditemui Antara usai Forum Nasional Stunting di Jakarta, Selasa 6 Desember 2022.

Istilah resesi seks secara spesifik mengacu pada turunnya mood pasangan melakukan hubungan seksual, menikah, dan punya anak. Pada akhirnya, resesi seks bisa berimbas pada penurunan populasi suatu negara, karena kondisi rendahnya angka perkawinan dan keengganan untuk berhubungan seks.

Hasto menyatakan, proses Indonesia untuk mengalami resesi seks memang masih panjang, karena banyak penduduk masih menjadikan pernikahan untuk memiliki anak sebagai salah satu tujuan hidup. Namun, potensi resesi seks tetap akan ada karena hal tersebut berpengaruh pada pola pikir terkait pernikahan atau memiliki anak, gaya hidup yang berubah ataupun melakukan seks bertujuan sekadar rekreasi saja.

Di Indonesia saat ini, hal yang paling terlihat jelas adalah meningkatnya usia pasangan untuk menikah. Sedangkan pada usia melakukan hubungan seksual pertama kali (sexual intercourse) dari yang semula dilakukan pada usia 16-17 tahun, kini maju menjadi 15 tahun. "Sekarang bergeser ke 15 tahun kalau diukur dari median grafik. Tapi pernikahan mundur karena orang semakin mementingkan studi atau karir. Memang di Indonesia masih mayoritas nikah itu untuk prokreasi atau mendapat keturunan," ucapnya.

Hal lain yang menyebabkan potensi resesi seks mungkin terjadi adalah kebutuhan pernikahan yang berubah. Misalnya seorang istri yang memutuskan menikah hanya untuk mendapatkan pengayoman atau keamanan hidup dari suami maupun suami yang menikah hanya untuk tujuan hiburan atau rekreasi. Nantinya, perilaku non-prokreaksi itu, akan berujung pada kurangnya pertumbuhan penduduk (minus growth) hingga zero growth yang akan mengganggu laju angka kesuburan total (TFR).

"Misalnya di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah itu beberapa kabupaten sudah ada yang zero growth atau minus growth. Sehingga ada daerah-daerah yang orangnya bukan semakin banyak malah semakin habis," katanya.

Guna mencegah hal tersebut, Hasto mengaku BKKBN sedang menjalankan sebuah program fertilitas yang dapat membantu ibu untuk hamil seperti program Keluarga Berencana (KB). "Prinsip untuk mempertahankan jumlah penduduk seimbang itu adalah satu perempuan harus melahirkan satu anak perempuan itu sudah minimal. Baru bisa penduduk bisa bertahan, tapi kalau tambah lama satu perempuan tidak bisa melahirkan satu anak perempuan akan minus growth," ucap Hasto.

Sebelumnya, sejumlah negara diberitakan telah mengalami resesi seks akibat gaya hidup yang berubah. Di Thailand misalnya, berdasarkan laporan The Straits Times pada 2020, TFR Thailand menyusut menjadi 1,24, lebih rendah dari tingkat peremajaan populasi yang sebesar 1,6. Sementara TFR Korea Selatan kini berada pada 0,8, setelah banyak pasangan menyatakan tidak ingin memiliki anak dalam membangun rumah tangga dan biaya hidup yang semakin tinggi.

Wapres Kiai Ma'ruf mengingatkan pada tahun lalu. baca selengkapnya di halaman selanjutnya.

sumber : Tim Republika

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement