Rabu 05 Jun 2024 05:42 WIB

35 Tahun Lalu, Babak Berdarah di Gerbang Surgawi

Aksi memeringati peristiwa di Tiananmen terus mendapat pembungkaman.

Bendera nasional Tiongkok berkibar di Lapangan Tiananmen.
Foto:

Babak rahasia itu dimulai dengan kisah polah mendiang pemimpin Deng Xiaoping dan sekelompok delapan pensiunan dan semi-pensiunan 'sesepuh' Partai Komunis. Kendati tak lagi punya jabatan resmi di pemerintahan, mereka masih memiliki pengaruh kuat.

"Kita tak lagi bisa menguasai sepenuhnya keadaan," ujar Deng saat pertemuan di rumahnya sekitar tiga minggu sebelum tragedi berdarah 4 Juni itu. "Kita harus mengambil keputusan. Bagaimana kita bisa maju jika segalanya kini kacau balau?"

Sikap Deng digambarkan amat tak bersimpati pada para demonstran. "Oposisi itu bukan semata-mata mahasiswa. Tapi segelintir pemberontak dan sekumpulan gembel," cetus Deng saat pertemuan 13 Mei di rumahnya di kamp pemimpin Zhongnanhai. "Gerakan anarki kini makin memburuk. Jika ini terus berlanjut, kita bisa saja menjadi tahanan rumah," tambahnya.

photo
Seorang warga mengadang tank-tank yang hendak menumpas aksi demonstrasi di Lapangan Tiananment, Beijing pada 1989. - (AP)

Li Peng, perdana menteri saat itu, dilukiskan giat melancarkan kampanye internal untuk menindak keras para mahasiswa yang mendesak pemilu yang transparan dan lebih luas. Di mata Li Peng, gerakan mahasiswa itu sama sekali tak masuk akal.

Dokumen pun mengungkap perpecahan dalam tubuh komite Partai Komunis, antara melanjutkan dialog dengan mahasiswa atau tidak. Dari hasil voting, terungkap hanya dua dari tiga anggota komite memilih diterapkan undang-undang darurat perang dan satu orang abstain. Zhao Ziyang, Sekjen Partai Komunis, menjadi penentang utama undang-undang itu. Bersamaan dengan itu, ribuan mahasiswa mulai memadati jantung lapangan berdarah itu.

Saat pertemuan 16 Mei 1989, Zhao mengungkap, "Saya kira paling tepat merundingkan soal gerakan mahasiswa yang bisa memicu kekacauan. Tentunya kita berharap ini bisa mereda dengan metode demokrasi dan hukum." "Saya menentang penerapan undang-undang darurat perang di Beijing," ujarnya saat pertemuan Politbiro 17 Mei. "Ini hanya akan merumitkan segalanya dan makin memperuncing keadaan."

Namun pernyataan Zhao itu mengundang kritik tajam dari pemimpin lain terutama PM Li dan beberapa sesepuh partai. Menurut mereka, pernyataan Zhao itu bisa memicu kembali protes setelah sempat mereda sekitar April. "Saya kira Kamerad Ziyang harus memikul tanggung jawab atas merebaknya gerakan mahasiswa terlebih situasi saat ini makin tak terkendali," ujar Li saat pertemuan Politburo 17 Mei itu.

Hari berikutnya, 18 Mei, delapan sesepuh bertemu dengan empat anggota komite. Zhao tidak hadir. "Kami, para kamerad tua, bertemu dengan Anda semua hari ini karena kami merasa tak ada lagi pilihan," kata Deng pada anggota komite itu.

"Komite seharusnya bisa membuat rencana terlebih dahulu. Tapi kini setelah segalanya makin memburuk dan hingga hari ini pun tak ada keputusan yang diambil. Akibatnya, lebih satu bulan Beijing kacau balau." Sesepuh Wang Zhen memberi tanggapan. "Orang-orang itu memang merencanakan ini semua. Mereka harus langsung ditangkap begitu mereka kembali beraksi. Jangan lagi berbelas kasihan pada mereka,'' cetusnya.

Pukul 04.00, 19 Mei. Zhao dan Li mendatangi Lapangan Tiananmen. Ketika itu Zhao sempat meminta pada mahasiswa agar membubarkan diri sebelum segalanya terlambat.

Ketika hari mulai beranjak pagi, Zhao meminta ijin tiga hari karena sakit. Tepat 21 Mei, Deng menilai Zhao keras kepala sehingga harus memanggul beban tanggung jawab yang teramat besar.

"Partai kini memiliki dua markas besar. Zhao Ziyang punya markas sendiri yang terpisah. Karena itulah kita harus menyelesaikan masalah ini hingga tuntas," omel Sesepuh Li Xiannian panjang lebar.

"Zhao tidak pernah memberi perhatian pada orang-orang seperti kami. Sepertinya yang ia inginkan adalah menyingkirkan orang-orang tua dari kekuasaan," tambah Sesepuh Wang. Setelah melakukan diskusi panjang, seluruh sesepuh berniat mengganti Zhao dengan Jiang Zemin, ketua partai Shanghai saat itu.

Enam hari kemudian, Deng bertemu dengan para sesepuh itu dan mereka memutuskan untuk menempatkan Jiang sebagai sekjen. Keputusan yang sebenarnya harus diputuskan oleh komite.

Tak hanya itu. Para sesepuh pun merombak sisa anggota komite kerja: menyingkirkan sekutu Zhao, Hu Qili dan menggiring beberapa orang sehingga jumlah anggota komite lebih dari tujuh.

photo
Parade militer Cina di Lapangan Tiananmen memperingati 70 tahun berakhirnya PD II. - (AP)

2 Juni 1989. Dua hari sebelum pasukan militer menembaki para pemrotes, PM Li menyulut antusiasme para sesepuh dengan mengatakan agen Amerika dan Taiwan, bagian dari koalisi pasukan reaksioner asing dan domestik, berada di belakang para mahasiswa itu. Tak ayal pernyataan ini makin membuat geram para sesepuh.

Kelompok Aliansi Cina untuk Demokrasi yang berada dalam pengasingan di New York dicap Li sebagai 'sampah bangsa'. "Kapitalisme ingin menghancurkan sosialisme hingga ke akarnya," kata sesepuh Li Xiannian. Satu hari sebelum bentrokan terjadi, sesepuh Yang Shangkun menyatakan tentara, yang sebelumnya enggan melawan para pendemo, kini tengah bersiap-siap menyisir habis lapangan.

Qiao Shi, kepala intelijen yang memberi suara abstain saat voting undang-undang darurat perang, justru mengirim pasukan anti huru-hara. Deng tidak hadir dalam pertemuan itu. Tapi sesepuh Yang membawa sebuah pesan. "Ia (Deng) minta saya untuk menyampaikan dua hal untuk setiap orang," kata Yang.

 

"Pertama: Pecahkan masalah ini sebelum subuh besok. Maksudnya, pasukan darurat perang harus menyelesaikan tugas mereka untuk membersihkan lapangan sebelum subuh. Kedua: Lakukan tindakan yang tepat pada mahasiswa itu dan pastikan mereka memahami alasan kita melakukan ini." Dalam hitungan jam, penembakan dimulai. 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement