Jumat 24 May 2024 19:57 WIB

Empat Analisis Pengamat Atas Pidato Megawati yang Menjurus pada Oposisi 

Megawati melecutkan semangat para kader dengan meneriakkan 'PDIP tahan banting'.

Rep: Eva Rianti/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Rakernas PDIP ke-5 di Ancol.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Rakernas PDIP ke-5 di Ancol.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik yang juga Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam mengomentari pidato Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam Rakernas PDIP yang cenderung mengarah pada posisi PDIP sebagai oposisi pemerintahan Prabowo-Gibran.  Setidaknya ada empat analisis yang dirangkumnya mengenai arah PDIP sebagai oposisi dalam pidato yang disampaikan oleh Megawati.  

"(Pertama), cara Megawati melecut semangat para kadernya dengan meneriakkan, 'PDIP tahan banting', 'takut atau tidak?', 'berani apa tidak?'  merupakan indikasi kuat PDIP akan mengambil sikap sebagai oposisi di hadapan pemerintahan Prabowo-Gibran," kata Khoirul dalam keterangannya, Jumat (23/5/2024). 

 

Menurutnya, Mega juga dinilai menguatkan diri dan para kader PDIP mengenai tudingan sebagai provokator yang diyakininya demi kebenaran dan keadilan. Sikap itu, kata Khairul mempertegas PDIP yang tidak ingin diajak negosiasi dan kompromi dengan pemenangan Pemilu 2024. 

 

"(Kedua), Megawati juga meluncurkan serangan balik kepada Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo," ujarnya. 

 

Terhadap Prabowo, serangan balik Megawati itu termanifestasikan dalam responnya yang meng-embrace bahwa memang ia anak biologis Bung Karno dan secara ideologis membenarkan Soekarno milik semua rakyat Indonesia.

 

"Statemen itu menepis pidato Prabowo yang menuding PDIP sebagai partai yang mengklaim Bung Karno hanya milik partainya," jelasnya. 

 

Ketiga, Megawati mempertanyakan menggugat dan mempertanyakan kredibilitas Pemilu 2024 yang dianggapnya telah diwarnai kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Menurut Megawati, Pemilu dianggap tidak berjalan secara jujur dan adil, karena Pemilu telah dijalankan secara abu-abu dan direkayasa. 

 

Megawati juga menggugat praktik kekuasaan yang semakin represif pada kebebasan sipil. Semua itu dianggap mirip dengan praktik kekuasaan yang otokratik. 

 

"(Keempat) dengan logika terbalik atau mafhum mukholafah, penggunaan tema Satyam Eva Jayate atau yang benar pada akhrinya akan menang, merupakan tudingan secara tidak langsung bahwa yang menang saat ini adalah yang tidak benar menurut cara pandang PDIP," kata Khoirul. 

 

Dia menuturkan, cara pandang itu tak lepas dari koreksi total PDIP atas praktik kekuasaan pemerintahan Jokowi yang dianggap telah melumpuhkan pilar-pilar demokrasi dan dianggap telah menyalahi komitmen agenda Reformasi 1998. 

 

Kritik Megawati yang paling telak ditujukan pada  tudingan praktik penggunaan instrumen kekuasaan, mulai dari penegak hukum hingga  lembaga TNI-Polri, yang dianggapnya telah ditarik lagi menjadi alat kekuasaan dalam politik praktis, sebagaimana di era kekuasaan autoritarian.  

 

Megawati bahkan mengancam, Reformasi Ulang atau Re-Reformasi bisa saja perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi bangsa yang dianggapnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perjuangan PDIP.  

 

"Dengan demikian, di bawah kepemimpinan Megawati, maka hampir bisa dipastikan PDIP akan mengambil sikap sebagai oposisi di hadapan kepemimpinan pemerintahan Prabowo-Gibran," tegasnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement