REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Puri Bestari Mardani mengajak warga untuk menyaring dan mengecek kebenaran informasi yang beredar di platform media sosial sebelum membagikannya.
"Masyarakat diharapkan mampu menyeleksi dan memverifikasi informasi yang banyak beredar di media sosial. Sebelum Anda membagikannya, maka cek fakta dari informasi tersebut," kata Puri.
"Jika Anda tak punya waktu untuk mengecek faktanya, maka informasi itu tidak perlu dibagikan," kata Puri.
Dia menyampaikan bahwa hoaks lebih banyak disebarkan melalui media sosial dan mengimbau warga agar waspada.
Berdasarkan data Masyarakat Telekomunikasi Indonesia, 92,4 persen hoaks disebarkan melalui media sosial, 62,8 persen melalui aplikasi pesan, 34,9 persen melalui situs web, 8,7 persen melalui televisi, dan 9,3 persen melalui kanal lain seperti media cetak, radio, dan surel.
Puri menilai, media sosial paling banyak dijadikan sebagai tempat menyebarkan hoaks. Karena platform tersebut populer, bersifat terbuka, menghubungkan banyak orang, interaktif, serta memungkinkan penyampaikan informasi secara cepat dan langsung.
Selain itu, setiap pengguna dapat berpartisipasi membuat konten serta turut menyebarkan konten, bisa memiliki lebih dari satu akun, baik itu akun pribadi, akun bisnis, ataupun akun palsu, untuk menutupi identitas asli.
Menurut data We Are Social, selama tahun 2024 ada 5,35 miliar pengguna internet dan 4,95 miliar pengguna media sosial di seluruh dunia. Data We Are Social pada Januari 2024 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 185,3 juta pengguna internet dan 139 juta pengguna media sosial.
"Orang Indonesia sendiri mampu menghabiskan waktu selama 19,7 persen per hari di media sosial. Persentase ini merupakan urutan ketujuh di dunia," kata Puri.
Menurut Sekretaris Relawan Teknologi Informasi Komunikasi Sulawesi Barat Shalahuddin, pengguna internet lebih mudah terpapar hoaks karena faktor seperti budaya berbagi, sentimen suku, agama, dan ras yang masih kuat, terjebak dalam budaya jiwa korsa yang keliru, belum dapat membedakan ranah privat dan publik, serta kepentingan komersialisasi konten.
"Paparan hoaks ini menjadi pintu masuk terjadinya polarisasi, ketidakpercayaan pada fakta, dan menggerus otoritas ilmu pengetahuan yang bergerak bersamaan dengan momentum politik," kata Shalahuddin.
Menurut Shalahuddin, penyebaran hoaks dapat ditangkal dengan kesepahaman komunal, bukan pada level individual. Ia juga mengemukakan perlunya upaya pemberantasan penyebaran hoaks dari hulu ke hilir.
Upaya di hulu bisa meliputi edukasi literasi digital kepada masyarakat serta pelacakan hoaks oleh lembaga maupun komunitas yang kompeten. Sedangkan di hilir, bisa dilakukan penegakan hukum terhadap pihak yang secara aktif menyebarkan hoaks.
"Dari sisi penegakan hukum bisa lewat pemblokiran akun oleh Kemenkominfo dan proses hukum oleh kepolisian," kata Shalahuddin.
Shalahuddin mengemukakan cara menghadapi hoaks yang beredar di media sosial maupun internet dengan 3M. M yang pertama yakni mengenali informasi yang disebarkan di media sosial dengan mengecek akun yang menyebarkan serta memastikan apakah konten bernada provokatif.
M yang kedua yakni mengelola informasi dengan cara mengecek alamat situs atau sumber berita serta membedakan opini dengan fakta. "Ketiga, mampu memutus mata rantai untuk tidak turut membagikan informasi tersebut," kata Shalahuddin.