REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketahanan anak terhadap perubahan iklim perlu dibangun agar anak-anak Indonesia dapat selamat dari berbagai risiko yang disebabkan oleh dampak iklim. Sikap dalam mendukung resiliensi anak terhadap perubahan iklim itu harus mengarah pada upaya-upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
“Dampak perubahan iklim sudah kita rasakan saat ini, resiliensi anak terhadap perubahan iklim harus dibangun supaya anak-anak selamat dari berbagai risiko yang disebabkan oleh dampak iklim, dan menjadi generasi yang sehat dan tangguh, terutama menjelang saat dan setelah tahun-tahun 2045,” ujar Chairperson & CEO Save The Children Indonesia Dessy Kurwiany Ukar di Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Hal itu dia sampaikan pada kegiatan Seminar Multisektor dan Kick Off Aksi Generasi Iklim bertajuk “Membangun Resiliensi Anak Terkait Perubahan Iklim Menuju Indonesia Emas 2045” di Aula Heritage Kemenko PMK, Jakarta. Kemenko PMK menyatakan, penguatan basis pengetahuan lewat pengembangan riset, teknologi, dan inovasi menjadi kunci penting dalam melawan dampak perubahan iklim.
“Kita harus terus memperkuat basis pengetahuan melalui pengembangan kegiatan riset, teknologi, dan inovasi terkait perubahan iklim dan dampaknya, agar berbagai kebijakan dapat disusun berbasis bukti atau evidence-based policy,” ujar Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum.
Wanita yang kerap disapa Lisa itu mengatakan, terselenggaranya seminar tersebut dapat turut meningkatkan ketangguhan dan sistem ketahanan masyarakat, termasuk resiliensi anak dalam mengurangi risiko dan meningkatkan antisipasi terhadap dampak jangka panjang perubahan iklim global secara komprehensif.
“Saya berbahagia atas penyelenggaraan acara hari ini, karena mencerminkan adanya sinergi, kolaborasi, dan kepedulian bersama dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga lembaga, masyarakat, media, dan para pihak lainnya terhadap masa depan anak-anak Indonesia,” kata Lisa.
Kajian cepat Save the Children Indonesia pada November 2023 yang dilakukan di Lombok Barat, Sumba Timur, dan Kupang mengenai dampak kekeringan menunjukkan pengaruh perubahan iklim terhadap anak. Di mana, kelangkaan air dan kerawanan pangan telah memperburuk kondisi kesehatan, gangguan pada pendidikan anak dan mengancam kehidupan sehari-hari masyarakat, temasuk anak-anak.
Tantangan kelangkaan air dan kekeringan berdampak pada kesehatan anak, termasuk upaya pemenuhan asupan gizi anak yang berdampak pada upaya penurunan angka stunting. Data menunjukkan implikasi dampak kekeringan terhadap presentasi kondisi status gizi balita.
Di mana, di Kupang mencapai presentasi tertinggi 41,5 persen untuk isu underweight, kemudian Sumba Timur 23,4 persen, dan Lombok Barat 22,5 persen. Pada isu Stunting, Kupang merupakan wilayah dengan persentase tertinggi, yakni 40,4 persen, Lombok Barat 28,9 persen dan terendah adalah Sumba Timur 28,8 persen.
“Kerja sama dengan berbagai pihak sangat penting dalam mewujudkan anak-anak dan orang muda yang resilien terhadap krisis iklim,” ucap Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication and Media Save the Children Indonesia Tata Sudrajat.
Seminar tersebut diketahui terselenggara atas hasil kerja sama antara Kemenko PMK dengan Save the Children Indonesia dan didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK), Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Turut menjadi panelis dalam agenda tersebut, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Rut Kruger Giverin, Interim Chief of AACM Tata Sudrajat, Program Director Climate Changes & Circular Economy Programming Save the Children Indonesia Ari Mochamad.
Selain itu, penanggap diskusi yang hadir diantaranya, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Laksmi Dhewanthi, Direktur The Climate Reality Project Indonesia Amanda K. Niode, Perwakilan Geopark Youth Forum Abdul Syahid.