Senin 22 Apr 2024 14:31 WIB

Celah Penyebab Terjadinya Pelanggaran Pemilu Menurut MK

Ke depan Pemerintah dan DPR perlu melakukan penyempurnaan terhadap UU Pemilu.

Suasana jalannya sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024).  Dalam sidang tersebut para pemohon hadir langsung yaitu Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dan Pasangan capres-cawapres nomor urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana jalannya sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Dalam sidang tersebut para pemohon hadir langsung yaitu Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dan Pasangan capres-cawapres nomor urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Febryan A 

Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkapkan tidak adanya aturan sebelum dan sesudah masa kampanye menciptakan terjadinya pelanggaran Pemilu. Hal itu disampaikan dalam sidang putusan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres dari pemohon Tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).  

Baca Juga

"Bahwa Undang-Undang Pemilu belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai," kata Ketua MK Suhartoyo dalam persidangan di Gedung MK, Senin (22/4/2024).  

Padahal, Suhartoyo melanjutkan pada Pasal 263 UU Pemilu telah disebutkan larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta ASN untuk mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. 

"Namun, pasal-pasal berikutnya dalam UU Pemilu tersebut tidak memberikan pengaturan tentang kegiatan kampanye sebelum maupun setelah masa kampanye. Ketiadaan pengaturan tersebut memberikan celah bagi pelanggaran pemilu yang lepas dari jeratan hukum ataupun sanksi administrasi," jelasnya. 

Dengan demikian, Suhartoyo mengatakan, ke depan Pemerintah dan DPR perlu melakukan penyempurnaan terhadap UU Pemilu, juga UU Pemilukada maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan kampanye, baik berkaitan dengan pelanggaran administratif dan jika perlu pelanggaran pidana pemilu. Hal itu demi memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaksanaam pemilu ke depan. 

"Demikian halnya, jika ada pengaturan yang saling berkelindan sehingga menimbulkan ambiguitas, hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang perlu dilakukan penyempurnaan oleh pembentuk undang-undang," tuturnya. 

Lebih lanjut, Suhartoyo mengatakan, khususnya bagi pejabat negara yang merangkap anggota parpol, capres/cawapres dan anggota tim kampanye maupun pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU, seharusnya perlu dibuat pengaturan yang lebih jelas guna menjaga netralitas aparat negara, sebagaimana dalam Pasal 299 UU Pemilu. Dia menyebut, pemerintah dan DPR harus membuatnya lebih jelas tentang pelaksanaan kampanye bagi rangkap tugas seperti itu yang seharusnya dilaksanakan terpisah, tidak dalam satu waktu kegiatan ataupun berhimpitan dengan waktu pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara.  

"Kedua kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan maupun berhimpitan, karena berpotensi adanya terjadi pelanggaran pemilu dengan menggunakan fasitas negara dalam kegiatan kampanye maupun menggunakan atribut kampanye dalam tugas penyelenggaraan negara merjadi terbuka lebar," jelasnya. 

Lantas, Suhartoyo mencontohkan kasus Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang kerap disinggung pemohon. 

"Tergambarkan dalam kegiatan yang dilakukan oleh Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto yang melakukan pembagian sembako dan juga setelah itu menghadiri kampanye Partai Golkar sebagai Ketua Umum dan kegiatan yang dilakukan Menteri Perdagangan dalam kegiatan APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) di Semarang," ungkapnya. 

Suhartoyo menambahkan, dalam menarik kesimpulan terkait dengan dugaan pelanggaran pemilu terhadap suatu peristiwa, Bawaslu perlu menyusun standar operasional dan prosedur, tata urut, maupun analisis yang baku dan memperhatikan berbagai aspek yang menjadi unsur adanya suatu pelanggaran pemilu baik yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah masa kampanye. 

"Hal tersebut agar diperoleh hasil kesimpulan yang memiliki pijakan yang kuat dan komprehensif atas suatu peristiwa yang diduga terdapat pelangaran pemilu meskipun hasil kesimpulan tersebut dilakukan oleh anggota Bawaslu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, terhadap dalil aquo pun Mahkamah tidak dapat menindaklanjuti dengan tanpa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon dalam persidangan," ujarnya.

photo
Karikatur Opini Republika : Nasehat Presiden - (Republika/Daan Yahya)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement