Jumat 19 Apr 2024 08:50 WIB

UGM Kelola Kesehatan Mental Bagi Mahasiswa Calon Dokter Spesialis

Skrining kesehatan mental jadi contoh pengelolaan kesehatan jiwa mahasiswa UGM.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Erdy Nasrul
Universitas Gadjahmada
Foto: ugm.ac.id
Universitas Gadjahmada

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM dalam menyelenggarakan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) telah melakukan pengelolaan kesehatan mental bagi mahasiswanya.

Berbagai upaya pengelolaan yang dilakukan yakni Pertama, melakukan skrining kesehatan bagi semua mahasiswa calon Dokter Spesialis di awal proses pendidikan. 

Baca Juga

"Kedua, melakukan pengaturan jam kerja <80 jam per minggu bagi semua mahasiswa calon Dokter Spesialis," kata Dekan FK-KMK UGM, Yodi Mahendradhata, Rabu (17/4/2024).

Upaya ketiga, yakni dengan memberikan edukasi tentang penanggulangan gejala-gejala depresi secara berkesinambungan kepada mahasiswa calon Dokter Spesialis. Keempat, menyediakan layanan tim psikolog apabila terdapat indikasi gejala depresi. 

"Layanan psikolog tersebut juga bisa diakses melalui internet secara personal untuk menjamin kerahasiaan proses konseling," ucapnya.

Selain itu yang kelima, melakukan monitoring rutin terkait kondisi dan perkembangan pendidikan mahasiswa calon Dokter Spesialis oleh Dosen Pembimbing Akademik. Pendampingan secara berkelanjutan dalam Pendidikan Dokter Spesialis memegang peran penting untuk mendukung kualitas pembelajaran karena tidak menutup kemungkinan mahasiwa menghadapi berbagai tantangan dalam proses pendidikan, seperti: tingginya beban kerja pelayanan 24 jam untuk kasus emergensi, pemberian perhatian lebih pada kasus-kasus berat dan komplikasi, serta tuntutan target penyelesaian pendidikan tepat waktu dari institusi atau pemberi penugasan beasiswa pendidikan.

Yodi menambahkan, proses skrining kesehatan mental jadi contoh pengelolaan kesehatan jiwa mahasiswa. Proses penapisan ataupun skrining kesehatan mental bagi mahasiswa perlu memperhatikan pemilihan instrumen skrining untuk menjamin validitas data, mempertimbangkan aspek etik serta menjaga kualitas data. 

"Hasil skrining awal bukan sebagai kesimpulan final ataupun perangkat untuk mendiagnosis kondisi kesehatan mahasiswa," ucapnya.

Menurutnya hasil skrining semestinya diikuti dengan tahapan pemeriksaan lanjutan seperti pemeriksaan oleh ahli kesehatan mental. Dengan demikian hasil kajian awal tidak untuk dipublikasikan karena berpotensi menimbulkan salah interpretasi, pelanggaran etik maupun stigmatisasi institusi atau kelompok tertentu seperti mahasiswa calon Dokter Spesialis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement