REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Dinas Pariwisata Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melirik tradisi maleman atau malam peringatan Nuzulul Quran setiap malam ganjil 10 hari terakhir di bulan Ramadhan menjadi potensi pariwisata. "Tradisi maleman ini menjadi salah satu warisan budaya religi yang harus kita jaga dan lestarikan," kata Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Kota Mataram Cahya Samudra di Mataram, Selasa, (9/4/2024).
Hal itu disampaikan setelah melihat kegiatan yang dilaksanakan masyarakat di sejumlah kelurahan di Kota Mataram untuk merayakan tradisi maleman. Sebab, saat perayaan tersebut warga Kota Mataram, melaksanakan tradisi maleman dengan menyalakan dilah jojor (lampu kecil) yang dirayakan warga secara bergantian setiap malam ganjil pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan.
Perayaan maleman diwarnai dengan dinyalakannya dilah jojor, yakni obor kecil hasil kreasi masyarakat yang terbuat dari batang bambu, minyak, dan kapas di setiap rumah warga setelah waktu berbuka puasa. "Tradisi itu sangat menarik, dan tahun depan kita akan coba kemas menjadi sebuah agenda seperti Festival Dilah Jojor," katanya.
Menurutnya, dengan berbagai pesan religi yang terdapat dalam kegiatan itu diyakini tradisi maleman bisa menjadi salah satu potensi pariwisata tahunan. "Ini tentu akan menambah agenda untuk kalender pariwisata Kota Mataram pada bulan Ramadhan," katanya.
Untuk mendukung kegiatan itu, tambah Cahya, ke depan pihaknya akan melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemuda untuk bergerak bersama melestarikan kegiatan tersebut. Hudri, salah seorang tokoh agama dan masyarakat di Kota Mataram mengatakan tradisi menyalakan dilah jojor sudah menjadi tradisi turun temurun di Kota Mataram, terutama di kelurahan atau lingkungan yang berpenduduk asli.
Masyarakat, terutama di kelurahan berpenduduk asli, seperti Kelurahan Dasan Agung mengawali kegiatan malam Nuzulul Quran berbuka puasa bersama di masjid dengan masyarakat dan tokoh agama dirangkaikan doa dan zikir. "Tujuannya, untuk mempererat tali silaturrahim antar-masyarakat dan tokoh agama di setiap lingkungan," katanya.
Setelah shalat magrib berjamaah, baru warga menyalakan dilah jojor di pinggir rumah masing-masing sebagai salah satu pelestarian tradisi budaya. Bahkan, anak-anak dan remaja di lingkungan setempat juga menyalakan kembang api sebagai tanda di lingkungan tersebut sedang berlangsung tradisi maleman.