REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mencecar ahli yang dihadirkan oleh kubu Prabowo-Gibran, Halilul Khairi yang menyebut frasa calon dukungan pemerintah dalam sesi pemaparan keterangannya. Halilul mengatakan bahwa frasa calon dukungan pemerintah tersebut merupakan permisalan dari tuduhan yang dipersoalkan dalam sengketa Pilpres 2024.
“Ada dua sampai tiga kali saudara ahli menyebut calon dukungan pemerintah. Apa yang saudara maksud dengan calon dukungan pemerintah di keterangan ahli tadi?” ucap Saldi kepada Halilul dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Gedung I MK RI, Jakarta, Kamis (4/4/2024).
Diketahui, salah satu dalil kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud adalah perihal adanya ketidaknetralan penjabat kepala daerah. “Saya mungkin memaksudkan bahwa dia mendukung calon dari penjabatnya itu, dituduh atau harus mendukung calon yang diarahkan oleh pemerintah, misalnya gitu Prof.,” ucap Halilul.
“Jadi kalau begitu ada calon yang diarahkan pemerintah, ya?” timpal Saldi.
“Kan tadi saya menyimulasikan, Pak, andai misalnya mendapat perintah,” jawab Halilul.
Saldi mengatakan, pernyataan ahli seharusnya jelas atau clear sebab keterangan yang bersangkutan akan dipertimbangkan dalam pengambilan putusan. “Nanti kita lihat bersama risalahnya,” ucap Wakil Ketua MK itu.
Adapun Halilul saat memberikan keterangan sebagai ahli memang sempat menyebutkan frasa calon dukungan pemerintah. “Kalau memang penjabat kepala daerah itu dapat diandalkan menjadi mesin untuk pemenangan calon tertentu, terutama tentu pemerintah, calon yang didukung pemerintah, dalam hal ini tentu 02 yang kita bahas,” ucapnya.
Halilul mengatakan, jika penjabat kepala daerah diminta memenangkan pasangan calon tertentu, maka suara pasangan calon dimaksud akan tinggi di daerah yang banyak penjabat kepala daerahnya, seperti di Provinsi Aceh. Namun, Prabowo-Gibran kalah di provinsi tersebut.
“Aceh itu ada 24 kepala daerah. 23-nya adalah penjabat. 95 persen penjabat semuanya. Kalau dipakai untuk memobilisasi atau kalau kita menggunakan preposisi makin banyak penjabat kepala daerah maka makin efektif penambahan suara dari pihak pemerintah, logikanya Aceh adalah Aceh perolehan suara tertinggi karena dia adalah penjabat tertinggi provinsi se-Indonesia. Nyatanya 02 hanya 24 persen,” kata dia.
Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu kemudian membandingkan dengan Provinsi Bengkulu yang paling sedikit penjabatnya. “Nyatanya calon dukungan pemerintah mendapat suara 70 persen. Maka, kalau kita menggunakan keyakinan itu empiriknya tidak terlihat,” tutur Halilul.
Sementara itu, sambung dia, suara Anies-Muhaimin dan Prabowo-Gibran bersaing ketat di DKI Jakarta yang merupakan daerah yang dikelola oleh penjabat gubernur. “Semua pengendalian di Jakarta oleh penjabat. Nyatanya calon 1 dan 2 mirip-mirip, menang nomor 2, tapi selisih 3 ribuan. Kalau dia efektif betul, seharusnya 100 persen mendekati 80 persen, karena semua aparatur pemerintahan DKI Jakarta di bawah kendali gubernur 100 persen,” katanya.