Senin 18 Mar 2024 12:03 WIB

Belajar dari Edinburgh-Skotlandia Soal Kampus Ramah Disabilitas

Kampus dan sekolah yang menolak calon mahasiswa disabilitas akan disanksi tegas.

Tiga dosen Ilmu Komunikasi UAI menyerahkan cindera mata plakat kepada Professor Dr John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dari Moray House School of Education and Sport (MHSES).
Foto: Istimewa
Tiga dosen Ilmu Komunikasi UAI menyerahkan cindera mata plakat kepada Professor Dr John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dari Moray House School of Education and Sport (MHSES).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Tidak ada salahnya jika kita belajar dari negara lain dalam memberlakukan aturan main di perguruan tinggi, khususnya kepada kaum disabilitas. Di Universitas of Edinburgh (UoE) Skotlandia misalnya, peraturan tentang perlakukan terhadap calon mahasiswa disabilitas sudah terintegrasi dan selalu inovatif.

photo
Professor Dr John Ravenscroft tengah menjelaskan ketentuan kampusnya terkait perlakuan kepada mahasiswa disabilitasnya di hadapan Dosen Ilmu Komunikasi UAI. - (Istimewa)

Demikian antara lain catatan penting dari perjalanan tiga dosen muda dari Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) selama lebih dari sepekan di Skotlandia, khusus di UoE pada 4-8 Maret lalu. Kegiatan ini merupakan implementasi hibah bertajuk ‘UK-ID Disability Inclusion Partnership Grant’ dari British Council Indonesia.

Selama di UoE, tim dosen tersebut disambut Professor Dr John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dari Moray House School of Education and Sport (MHSES) yang tahun ini sedang merayakan hari jadinya yang ke-175.

Sambutan dari para staf-nya juga memberikan rasa hangat di tengah suhu 0 derajat kota Edinburgh. ‘’Di Skotlandia, kalau sekolah atau kampus menolak calon mahasiswa disabilitas, itu termasuk pelanggaran, ilegal. Jadi, mau tidak mau harus dan karenanya, perguruan tinggi dan sekolah tidak bisa bekerja sendirian,’’ ujar dosen UAI Cut Meutia Karolina yang berkunjung ke Edinburgh bersama Edoardo Irfan dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UAI Gusmia Arianti.

Kepada Republika, Kaprodi Ilmu Komunikasi UAI Gusmia Arianti bercerita, kegiatan kunjungan ke Skotlandia sangat penting tidak hanya bagi UAI, tetapi untuk pendidikan tinggi di Indonesia secara umum. Kata dia, kegiatan ini merupakan bekal penting dalam mempersiapkan diri sebagai kampus ramah disabilitas.

‘’Kelak, kami juga bisa sharing ke masyarakat luas. Kami belajar kepada institusi yang tepat karena MHSES kan ranking satu di Skotlandia dan peringkat ke-13 dunia untuk subjek pendidikan,’’ katanya.

Sementara Edoardo Irfan menyebutkan, di Skotlandia pendidikan tinggi ramah disabilitas lebih dari sekadar pelaksanaan regulasi. Kata dia, kampus dan sekolah di Skotlandia sudah lama memberlakukan aturan itu dengan serius, fokus, dan bersinergi dengan para stake holder luar biasa.

‘’Pendidikan inklusif itu benar-benar jadi budaya,’’ kata Edo. Catatan lainnya, di Skotlandia, negara memberikan insentif untuk sekolah atau perguruan tinggi penerima siswa/mahasiswa disabilitas. Dengan begitu, lanjut dia, pengelola kampus atau sekolah mereka terpanggil menciptakan atmosfer yang sepenuhnya mendukung disabilitas.

‘’Karena itu, mereka melangkah jauh dari kebutuhan dasar yang ramah. Misalnya, soal definisi saja, di Skotlandia sudah berkembang perluasan definisi disabilitas. Mental health, atau masalah-masalah mental mahasiswa dalam belajar itu digolongkan ke dalam disabiltas,’’ tambah Edo.

Dalam release yang diterima Republika dari UAI, Professor John yang merupakan Chair of Childhood Visual Impairment menyampaikan antusiasnya menyambut kerjasama dengan UAI. Menurutnya, jika perguruan tinggi di Indonesia seperti UAI mulai menyelenggarakan pendidikan inklusi dari nol, itu sangat baik.

‘’Kalau dari nol, itu memberikan keleluasaan bagi kami untuk berkontribusi dan berharap ini akan menjadi pilot project yang nantinya akan menjadi panduan perguruan tinggi lainnya di Indonesia,’’ kata John.

Selain diskusi bersama John, Elizabeth dan para koleganya, tim dosen muda UAI juga bertemu alumni dengan kondisi disabilitas netra, para guru dari seluruh penjuru United Kingdom, hingga ikut serta dalam pelatihan pelatihan menyusun materi pembelajaran ramah netra.

Dosen muda UAI berkesempatan diskusi dengan perwakilan dari Communication, Access, Literacy dan Learning (Call) Edinburgh, sebuah organisasi nirlaba yang merupakan unit MHSES yang membantu anak-anak dan pemuda disabilitas.

Mereka para dosen UAI tidak ketinggalan mengikuti seminar ‘Socio Emotional Support for Students with Visual Impairment in Higher Education’, hingga diskusi dengan peneliti asal Australia tentang pendidikan inklusi di negaranya. Makan malam yang hangat di sebuah resto di tengah kota Edinburgh menjadi penanda akhir perjalanan belajar di kota yang memiliki lanskap arsitektur unik juga ikonik dari abad 15.

Di penghujung kunjungan, John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dijadwalkan akan berkunjung ke Indonesia pada pertengahan Mei 2024. Kehadirannya untuk memberikan seminar dan pelatihan bagi dosen-dosen dalam membuat materi pembelajaran yang ramah disabilitas.

Mereka juga akan mendampingi UAI dalam merumuskan policy brief terkait kampus yang ramah untuk teman-teman netra. ‘’Ini harus menjadi pilot project bagi perguruan tinggi lain dalam persiapan atau pengembangan kebijakan menerima mahasiswa disabilitas,’’ tandas Cut Meutia Karolina.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement