Jumat 01 Mar 2024 14:34 WIB

Pro Kontra Hak Angket: Membaca Kembali Konstitusi dan Hak Politik

Hak angket merupakan hak politik yang dilindungi konstitusi

Pemilu 2024 (ilustrasi). Hak angket merupakan hak politik yang dilindungi konstitusi
Foto:

Oleh : DR I Wayan Sudirta SH MH, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP

Publik saat itu dihebohkan dengan film “Dirty Votes” yang sesungguhnya menurut penulis tidak memberikan dampak positif maupun negatif terhadap seluruh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, namun lebih memberikan pencerahan tentang apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana masyarakat dapat menyadari dan selanjutnya mencegah terjadinya pelanggaran yang akan merugikan kepentingan bangsa dan negara.

Kini, apa yang dikhawatirkan oleh film tersebut, sebenarnya terjadi sehingga banyak kalangan kemudian mempertanyakan legitimasi dari proses dan hasil Pemilu 2024 khususnya dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Penulis setidaknya mencatat beberapa hal yang dapat menjadi materi penyelidikan Angket ini.

1. Mobilisasi ASN dan Kepala Desa

1.1 Pada awal Februari 2024, terdapat indikasi mobilisasi Kepala Desa oleh pasangan calon wakil presiden nomor urut dua. Pada saat itu, kasus ini diperiksa oleh Bawaslu dan KPU. Mobilisasi ini terlihat jelas karena diadakan untuk mendukung paslon tersebut. 

1.2 Mobilisasi ASN juga diduga terjadi untuk menguntungkan paslon tertentu. Program-program yang diselenggarakan di Kementerian diduga dilakukan dalam rangka mendukung paslon yang didukung oleh Presiden atau Pemerintah, seperti pemberian bansos dan pembangunan infrastruktur lainnya. Oleh sebab itu misalnya, angket ditujukan untuk memeriksa pemberian bantuan sosial yang dilakukan di tahun 2023 dan 2024 yang diduga dilakukan secara masif untuk menguntungkan paslon tertentu.

2. Pelanggaran etik dan conflict of interest sesuai dengan Putusan MKMK terkait dengan pencalonan Wakil Presiden.

2.1 Mungkin peristiwa inilah yang seharusnya menjadi refleksi besar seluruh pihak. Bahwa terdapat konflik kepentingan antara Ketua MK yang merupakan ipar Presiden dalam menelurkan hasil uji materi UU Pemilu terkait umur seorang calon Wakil Presiden sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Permasalahan ini kemudian dibawa ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan terjadinya pelanggaran etik oleh Ketua MK.

Hal ini memperlihatkan ketiadaan etika bernegara dan konflik kepentingan yang kemudian menghasilkan perbuatan “nepotisme” untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam hal ini, Presiden sebagai eksekutif telah dicurigai oleh banyak pihak mengintervensi lembaga yudikatif (MK).

2.2 Selanjutnya, belum ada ketentuan terkait dengan aturan untuk ketidakikusertaan para Hakim yang dinilai memiliki benturan kepentingan. 

3. Netralitaas Presiden, pejabat negara, Aparat, dan ASN lainnya.

3.1 Netralitas Presiden awalnya tidak diragukan setelah menyatakan akan mendukung semua paslon dan menjaga netralitasnya dengan membuat aturan agar seluruh aparatur negara menjaga netralitasnya selama Pemilu. Namun belakangan Presiden justru memperlihatkan sikap berbeda dengan memperbolehkan seluruh pejabat untuk ikut kampanye dan mendukung paslon Capres/Cawapres selama tidak menggunakan fasilitas negara. Pernyataan ni tentu menjadi sebuah dilema dan menimbulkan pro dan kontra, dimana seorang pejabat tentu sangat terkait dengan segala atribut dan fasilitas negara yang dimilikinya. 

3.2 Netralitas oknum aparat juga menjadi sorotan. Sebuah contoh kasus di Sumatera Utara memperlihatkan permasalahan yakni pada saat sebelum masa kampanye dimana ditengarai ada oknum tertentu yang memasang baliho, namun memaksa mencabut baliho calon lainnya. Hal ini sempat menjadi perdebatan namun kemudian menguap begitu saja.

4. Penyelenggaraan penghitungan suara melalui sistem aplikasi teknologi rekapitulasi penghitungan suara KPU (Sirekap)

4.1 Terakhir sebagaimana menjadi temuan berbagai pihak, bahwa sistem informasi Sirekap yang diselenggarakan oleh KPU tidak memiliki keakuratan atau sangat banyak memiliki kesalahan (error). Petugas KPPS sendiri bahkan menyatakan sulit mengakses dan menggunakan Sirekap. Bahkan gangguan teknis terjadi selama 1x24 jam yang menimbulkan pertanyaan publik tentang kapasitas dan kredibilitas Sirekap tentang Data. Publik kemudian mendorong dilakukannya audit eksternal karena menduga telah terjadi penggelembungan suara seperti yang ditemukan oleh Perludem.

5. Netralitas KPU dan Bawaslu

5.1 Putusan DKPP yang terkait dengan diperbolehkannya pendaftaran seorang calon wakil presiden yang tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam PKPU, mempertanyakan profesionalisme KPU. Alhasil, keputusan DKPP memperlihatkan bahwa Ketua dan Anggota KPU diduga melanggar etik dan lalai dalam melihat ketentuan perundang-undangan.

 

5.2 Sedangkan terkait dengan pelaksanaan kewenangan Bawaslu, banyak sekali laporan yang seharusnya ditindaklanjuti oleh Bawaslu, terutama yang mengandung tentang tindak pidana di bidang Pemilu (Sentra Gakumdu). Namun Bawaslu diduga juga telah diintervensi sehingga Bawaslu seperti tidak bergeming dalam menindaklanjuti laporan tersebut secara serius dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Tercatat oleh pakar, terdapat 2000an laporan kasus yang belum ditindaklanjuti sesuai ketentuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement