Jumat 01 Mar 2024 08:25 WIB

Kejagung Apresiasi Putusan MK yang Larang Pengurus Parpol Jadi Jaksa Agung

Orang parpol harus mundur dan menunggu jeda 5 tahun untuk menjadi Jaksa Agung.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Joko Sadewo
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Jaksa Agung tidak boleh orang parpol. (foto ilustrasi).
Foto: Dok Kejagung
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Jaksa Agung tidak boleh orang parpol. (foto ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang melarang pengurus partai politik (parpol) untuk mengisi jabatan Jaksa Agung. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Ketut Sumedana mengatakan, putusan MK tersebut tepat melihat peran penting posisi Jaksa Agung dalam penegakan hukum. 

Ketut mengatakan, memang sudah semestinya posisi pucuk pemimpin di Kejakgung, bukan, dan tak terafiliasi dengan parpol tertentu. “Kami (Kejakgung) sangat menyambut baik putusan MK dimaksud untuk memperkuat independensi kejaksaan sebagai aparat penegak hukum,” kata Ketut, Kamis (29/2/2024).

Ketut mengatakan dalam lima tahun terakhir, posisi Jaksa Agung yang bukan dari parpol menampilkan penegakan hukum yang murni. “Sebagaimana yang telah berjalan di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin, penegakan hukum yang dilaksanakan oleh kejaksaan dilakukan murni untuk kepentingan hukum, tanpa adanya campur tangan politik,” begitu kata Ketut. 

Putusan ini, lanjut dia, juga baik bagi regenerasi institusi. Dengan putusan MK tersebut memberikan peluang bagi jajaran jaksa yang berprestasi, dan yang berintegritas untuk memimpin Korps Adhyaksa. 

“Putusan tersebut sekaligus memberikan kesempatan lebih luas bagi insan Adhyaksa untuk dapat berkarier sampai di posisi puncak sebagai Jaksa AGung. Dan diharapkan memberikan motivasi bagi insan Adhyaksa untuk berkarier dan berkinerja lebih baik untuk kepentingan penegakan hukum,” ujar Ketut.

MK dalam putusan nomor 6/PUU-XXII/2024 menyebutkan Pasal 20 UU 11/2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945. Yaitu terkait dengan syarat Jaksa Agung. MK dalam putusannya menyatakan, untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung bukanlah merupakan pengurus parpol. MK dalam putusannya juga mengatakan, untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung haruslah berhenti dari kepengurusan parpol sekurang-kurangnya selama 5 tahun. 

“Menyatakan Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 298) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f, termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik kecuali telah berhenti sebagai pengrus partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung’,” begitu amar putusan MK tersebut.

Dalam pertimbangannya, MK mengatakan, pengurus parpol adalah orang yang memiliki keterikatakn dengan partai polirik. Sehingga dikatakan berpotensi menimbulkan conflict of interest, atau konflik kepentingan. Menurut MK, posisi Jaksa Agung sebagai aparat penegak hukum tak dapat diterima jika sambil menjadi pengurus parpol. “Hal ini dikarenakan sebagai pengurus partai politik seseorang memiliki keterikatan mendalam dengan partainya, sehingga berdasarkan penalaran yang wajar potensial memiliki konflik kepentingan ketika diangkat menjadi Jaksa Agung, tanpa dibatasi oleh waktu yang cukup untuk terputus afiliasi dengan partai politik yang dinaunginya,” begitu dalam putusan MK. 

Namun begitu, MK dalam putusannya memberikan peluang bagi kader parpol untuk bisa menjadi Jaksa Agung. Namun dengan syarat melakukan pengunduran diri dari kepengurusan di parpol. Pun pengunduran diri tersebut, dilakukan sekurang-kurangnya selama 5 tahun sebelum pengangkatannya sebagai Jaksa Agung.

“Sedangkan bagi calon Jaksa Agung yang sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung merupakan anggota partai politik cukup melakukan penguduran diri sejak dirinya diangkat menjadi Jaksa Agung. Adapun jangka waktu 5 (lima) tahun telah keluar dari kepengurusan partai politik sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung adalah waktu yang dipandang cukup untuk memutuskan berbagai kepentingan politik dan intervensi partai politik terhadap Jaksa Agung tersbeut,” begitu dalam putusan MK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement