Kamis 22 Feb 2024 15:03 WIB

Beda dengan Peneliti BRIN, BMKG tak Sepakat dengan Istilah Tornado di Rancaekek

BMKG lebih sepakat penggunaan istilah familiar di Indonesia yakni puting beliung.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Angin Puting Beliung di wilayah Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Foto: Tangkapan Layar/Dok Rep
Angin Puting Beliung di wilayah Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meminta semua pihak untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat. Respons BMKG disampaikan menyusul pernyataan dari peneliti BRIN soal kemiripan puting beliung di Rancaekek dengan tornado di Amerika Serikat. 

BMKG menerangkan, secara esensial fenomena puting beliung dan tornado merujuk pada fenomena alam yang punya beberapa kemiripan visual. Tapi puting beliung tidak sekuat tornado yang biasanya terjadi di wilayah Amerika.

Baca Juga

“Kami mengimbau bagi siapa pun yang berkepentingan untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di masyarakat. Cukuplah dengan menggunakan istilah yang sudah familiar di masyarakat Indonesia sehingga masyarakat dapat memahaminya dengan lebih mudah,” jelas Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani kepada Republika, Kamis (22/2/2024).

Dia menjelaskan, kemiripan visual dari fenomena puting beliung dan tornado berupa angin yang kuat, berbahaya, dan berpotensi merusak. Menurut dia, ‘tornado’ biasa dipakai di wilayah Amerika. Ketika intensitasnya meningkat lebih dahsyat dengan kecepatan angin hingga ratusan km/jam dengan dimensi yang sangat besar hingga puluhan kilometer, maka dapat menimbulkan kerusakan yang luar biasa.

“Sementara itu di Indonesia fenomena yang mirip tersebut diberikan istilah puting beliung dengan karakteristik kecepatan angin dan dampak yang relatif tidak sekuat tornado besar yang terjadi di wilayah Amerika,” jelas dia.

Andri menuturkan, puting beliung secara visual merupakan fenomena angin kencang yang bentuknya berputar kencang menyerupai belalai dan biasanya dapat menimbulkan kerusakan di sekitar lokasi kejadian. Puting beliung terbentuk dari sistem awan cumulonimbus (CB) yang memiliki karakteristik menimbulkan terjadinya cuaca ekstrem.

“Meskipun begitu tidak setiap ada awan CB dapat terjadi fenomena puting beliung dan itu tergantung bagaimana kondisi labilitas atmosfernya,” terang dia.

Dia juga mengatakan, kejadian angin puting beliung dapat terjadi dalam periode waktu yang singkat dengan durasi kejadian umumnya kurang dari 10 menit. Prospek secara umum untuk kemungkinan terjadinya dapat diidentifikasi secara general, di mana fenomena puting beliung umumnya dapat lebih sering terjadi pada periode peralihan musim dan dan tidak menutup kemungkinan terjadi juga di periode musim hujan.

Berdasarkan catatan BMKG, kata Andri, fenomena puting beliung telah terjadi beberapa kali di wilayah Bandung, seperti misalkan pada 05 Juni 2023 terjadi di Desa Bojongmalaka, Desa Rancamanyar, dan Kelurahan Andir Kecamatan Baleendah-Bandung.

Berdasarkan informasi media, fenomena tersebut menimbulkan kerusakan pada bangunan rumah warga di mana sebanyak 110 rumah rusak di Bojongmalaka, 20 rumah rusak di Kelurahan Andir, dan 11 rumah rusak di Rancamayar.

“Pada 2023 juga terjadi kejadian puting beliung di wilayah Bandung pada Oktober di Banjaran dan Desember di Ciparay serta menimbulkan beberapa kerusakan seperti bangunan rusak dan pohon tumbang, bahkan di tahun 2024 tepatnya 18 Februari 2024, puting beliung terjadi juga di Parongpong Bandung Barat,” jelas dia.

Sebelumnya, Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebut angin kencang yang terjadi di Rancaekek, Jawa Barat, sebagai tornado karena melihat bukti-bukti berdasarkan dokumentasi publik. Menurut dia, yang bukti paling jelas ada pada skala meso yang lebih dari 2 km, yang membuat lima kecamatan terdampak oleh fenomena tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement