REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa kritik Megawati Soekarnoputri kepada TNI-Polri merupakan suara yang juga disampaikan berbagai kelompok masyarakat. Bahwa kedua lembaga tersebut ditegaskan harus netral pada pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Megawati juga berkaca kepada sejumlah peristiwa pada masa lalu, saat TNI-Polri menjadi biang dari tercorengnya prinsip demokrasi. Karenanya, Presiden ke-5 Republik Indonesia itu tak ingin hal tersebut terulang kembali.
"Jadi secara empiris (intimidasi dari TNI-Polri) itu terjadi, apalagi ini yang maju itu berkaitan dengan anak Presiden. Sementara TNI-Polri itu harus royal kepada presiden, sehingga muncul di tingkat implementasinya itu berbagai praktek seperti itu," ujar Hasto di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Senin (5/2/2024).
"Mengapa Bu Mega begitu sayang dengan TNI-Polri, karena TNI-Polri ini memiliki rekam jejak sejarah yang luar biasa bagi bangsa dan negara. Di masa-masa krisis seperti era revolusi fisik, TNI menyatu dengan rakyat, maka pesan Ibu Mega, sementara TNI-Polri itu berasal dari rakyat," sambungnya.
Tegasnya, TNI-Polri jangan dijadikan alat untuk ambisi seseorang atau kelompok tertentu. Jangan sampai integritas dan netralitas dua lembaga tersebut kembali tercoreng akibat kontestasi nasional tahun ini.
"Ketika perguruan tinggi sebagai instrumen moral dan kebenaran telah besuara, harusnya ini menyadarkan oknum-oknum yang ada didalamnya untuk tidak menggunakan institusi yang sangat penting tersebut sebagai alat politik praktisan, Ini yang diingatkan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri," ujar Hasto.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak menyarankan kepada Megawati untuk melaporkan langsung ke TNI. Termasuk TNI Angkatan Darat, manakala menemukan prajurit TNI mengintimidasi rakyat.
Maruli menjamin jika ada laporan yang masuk, TNI sigap untuk menindaklanjuti aduan tersebut. Ia mencontohkan kesigapan TNI merespons aduan masyarakat, salah satunya saat dokumen pakta integritas yang diteken oleh Pj. Bupati Sorong dan Kepala BIN Daerah Papua Barat, yang saat itu dijabat Brigjen TNI TSP Silaban.
Dalam pakta integritas itu, ada dugaan pelanggaran netralitas mengingat salah satu poinnya berpihak pada salah satu calon presiden (capres). Tak lama setelah dokumen itu viral, Maruli mengatakan bahwa TNI saat itu tegas dan langsung memanggil perwira tinggi yang bersangkutan.
"Ya 'kan waktu itu di Sorong, itu ternyata anggota TNI yang sedang ada kegiatan di instansi lain. Langsung kami tarik, kami tanya-tanya bagaimana sebetulnya kejadian tersebut, dan lagi dalam proses," ujar Maruli.