Senin 05 Feb 2024 18:54 WIB

'Putusan DKPP tak Pengaruhi Gibran, Tapi Bisa Jadi Alat Bukti Gugatan Dugaan Kecurangan'

Menurut ahli tata negara, Ketua KPU Hasyim Asyari semestinya dipecat dari jabatannya.

Ketua KPU Hasyim Asyari.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua KPU Hasyim Asyari.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Rizky Suryarandika, Antara

Ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden hanya berdampak pada penyelenggara pemilu. Jika memang hendak membuat berdampak pada pencalonan, maka harus ada upaya hukum lain yang dilakukan.  

Baca Juga

“Putusan DKPP tentu untuk penyelenggara pemilu. Kalau memang hendak membuat berdampak pada pencalonanan maka harus diajukan gugatan kepada Bawaslu dan PTUN,” ucap Feri kepada Republika, Senin (5/2/2024).

Putusan DKPP ini diucapkan hanya sembilan hari menjelang hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Feri menilai, kedaan tersebut memang sulit untuk memungkinkan mengganti Gibran dari posisinya sebagai cawapres Prabowo Subianto. Tapi, bukan tidak mungkin putusan DKPP ini dapat menjadi alat bukti dalam membantu membuktikan telah terjadinya kecurangan pemilu. 

“Terutama dalam proses pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden. Jadi perkara ini bisa menjadi alat bukti yang kemudian mempertegas memang telah terjadi upaya kecurangan,” kata dia.

Dia mengatakan, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari semestinya dipecat dari jabatannya setelah diberikan sanksi peringatan keras terakhir oleh DKPP lewat putusan itu. Hasyim dan enam komisioner KPU lain dinyatakan melanggar etik terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden.  

“Harusnya dipecat jadi anggota KPU atau setidaknya dipecat jadi ketua KPU karena telah berkali-kali diberi sanksi keras dengan peringatan terakhir,” kata Feri. 

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta pun memprotes putusan DKPP yakni, sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari. Kaka mengingatkan, pelanggaran etik bukan pertama kali dilakukan oleh ketua KPU RI.

"Ini putusan dagelan karena sanksi terhadap Ketua dan anggota KPU bukan baru, ini (putusan DKPP) bukan sesuatu yang serius," kata Kaka kepada Republika, Senin (5/1/2024). 

Kaka menilai, DKPP mestinya mempertimbangkan sanksi lebih keras kepada Ketua KPU RI dkk. Hal ini menurut Kaka berkaitan dengan kepastian penyelenggaraan Pemilu 2024 tak melanggar kode etik. 

"Kalau memang terbukti, harusnya tidak peringatan keras, harus ada sanksi tegas untuk efek jera dan memastikan kepastian hukum pemilu dan etika penyelenggara pemilu," ujar Kaka. 

Dalam Pasal 22 Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2017, DKPP berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap terhadap Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu, Kaka menganggap putusan DKPP ini seperti macan kertas alias tidak ada ketegasan. 

"Artinya, kalau dibutuhkan (sanksi) pemberhentian maka harus ada dalam diktum putusannya pemberhentian, ini hanya peringatan keras saja. Jadi dianggap tidak beri solusi pada problem yang ada," ujar Kaka. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement