Jumat 02 Feb 2024 22:41 WIB

Tawuran Usia Remaja Semakin Masif, Pakar: Butuh Perhatian dan Panggung

Sebenarnya anak dan remaja itu membutuhkan perhatian dan panggung.

Rep: Ali Mansur/ Red: Gita Amanda
Puluhan pelajar yang akan melakukan tawuran dengan membawa senjata tajam (ilustrasi)
Foto: Dok Humas Polres Indramayu
Puluhan pelajar yang akan melakukan tawuran dengan membawa senjata tajam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkelahian antarkelompok atau yang sering disebut tawuran pada usia muda, terutama pelajar sebenanya sudah terjadi sejak dulu, terutama di kota-kota besar. Namun akhir-akhir ini aksi tawuran semakin marak dan sadis, khusus pada anak usia remaja. Ada beberapa poin penting yang membuat anak usia remaja gampang melakukan tindak kejahatan dalam hal ini aksi tawuran. 

“Pertama mereka adalah kelompok usia yang memiliki keluluasan waktu, kedua mereka belum memiliki tanggungjawab. Kalau kita sebagai pekerja waktu kita terbatas, kalau kita tawuran kalau kita luka kita nggak kerja maka keluarga kita nggak makan. Kalau pemuda anak dan remaja nggak akan ada pertimbangan-pertimbangan seperti itu,” ujar Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati saat dihubungi, Jumat (2/2/2024).

Poin selanjutnya adalah kemampun berpikir, kata Devie, hasil penelitian menunjukkan kemampuan berpikir remaja baru sempurna pada menginjak usia 24 tahun. Maka mereka yang masih di batas usia itu kompasnya adalah emosi. Sehingga emosi anak dan remaja itu tumbuh lebih cepat daripada kemampuan berpikir mereka dan menyebabkan mereka gampang tersulut emosi dengan persoalan yang sangat sederhana sekalipun.

“Tidak heran kalau yang sebenarnya sederhana sekali bisa begitu sensitif buat mereka, misalnya ledekledekan di medsos atau merasa ada anak lain yang kelihatan yang keren misalnya itu bisa membuat mereka tersinggung dan memicu gesekan hingga tawuran,” jelas Devie.

Poin terakhir adalah eksistensi atau jatidiri, Devie mengatakan, gesekan atau tawuran yang aktornya adalah anak dan remaja itu motivasinya bukan uang tapi karena mencari eksistensi atau jatidiri. Akibatnya, mereka bisa melakukan hal-hal yang sangat mengerikan bahkan jauh dari kata kemanusian. Sebab semakin sadis mereka melakukan sesuatu makan peluang untuk bisa dikenang dan dielu-elukan itu semakin besar. 

“Apalagi sekarang soundnya ada media sosial, kalau di jaman dulu kan lewat gosip, oh ada si X kemarin matain tangan ini, kemarin si X nusuk bapak ini. Sekarang ada live ada segalanya,” terang Devie.

Butuh Perhatian dan Panggung

Lebih lanjut, Devie sebenarnya anak dan remaja itu membutuhkan perhatian dan panggung. Namun persoalannya di Indonesia, panggung itu hanya diberikan kepada kelompok anak tertentu yang memiliki kemampuan atau prestasi, seperti juara olimpiade. Sementara anak-anak yang tidak memiliki prestasi tidak diberikan panggung. Sehingga jalanan menjadi tempat bagi anak-anak untuk mencari eksistensi. 

“Di luar negeri itu semua anak dicintai dan dihargai sehingga diberikan panggung untuk menyalurkan minatnya dia, eskulnya itu bisa sampai 120 eskul minimal paling sedikitnya sehingga mereka sibuk, mereka punya panggung semua untuk dielu-elukan untuk dipuji dan sebagainya. Masih ada tawuran tapi tidak semasif di Indonesia,” tutur Devie.

Kemudian mengenai adanya pergeseran waktu tawuran yang dulu kerap terjadi pada saat jam sekolah atau pulang sekolah, sementara saat ini bisa terjadi pada malam hari bahkan dini hari, menurut Devie, hal itu terjadi lantaran adanya pergeseran pola asuh. Saat ini orang tua anak sudah tidak lagi mendisiplinkan anak-anaknya. Mereka cenderung membebaskan waktu untuk anak-anaknya hanya demi dianggap orang tua modern.

“Mau pulang jam berapa saja silakan, nggak punya SIM dikasih motor, hidup bebas dan sebagainya demi dianggap sebagai orang tua yang hebat, orang tua yang asik dan seru. Padahal itulah pintu masuk petaka dalam kehidupan anak-anak kita,” keluh Devie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement