REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG –Kepala Laboratorium TRKK ITB Dr. Melia Laniwati Gunawan, mengatakan, inovasi katalis yang dihasilkan ITB sangat penting. Ini karena 90 persen kebutuhan katalis Indonesia, masih diimpor dari negara lain seperti Jerman, Cina, India, dan Amerika Serikat.
Karena itulah, kata Melia, sangat penting bagi Indonesia menghasilkan katalis sendiri supaya tidak bergantung kepada negara lain.
“Memang jumlah dan kebutuhan katalis ini ribuan karena menyesuaikan kebutuhan industri itu sendiri. Bentuknya juga beragam ada yang seperti serbuk dan pellet,” ujar Melia kepada jurnalis di Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis (TRKK) ITB dan Pusat Rekayasa Katalisis (PRK) ITB, Bandung, Rabu (1/2/2024).
Melia mengatakan, dengan menghasilkan katalis sendiri, Laboratorium TRKK dan PRK ITB telah melakukan pengembangan teknologi katalisis dan proses untuk memproduksi bensin sawit. Lalu pada 2019, Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) membantu pendanaan TRKK ITB untuk pengembangan katalis dan membangun unit produksi bensin sawit kapasitas 20 liter/hari.
Kemudian pada 2015, Pertamina dan Laboratorium TRKK ITB melakukan uji coba proses produksi diesel biohidrokarbon dengan reactor skala komersial Pertamina di RU2 Dumai melalui skema co-processing. Berikutnya, Pertamina, ITB, dan BPDPKS mampu memproduksi diesel biohidrokarbon dengan skema mandiri (stand-alone) untuk memproduksi D100.
Selain itu, Laboratorium TRKK ITB bersama Pertamina dan didukung BPDPKS berhasil memproduksi bioavtur J2.4 (campuran 2,4% biokerosene dalam avtur fosil). Saat ini bioavtur digunakan untuk uji terbang menggunakan pesawat terbang komersial milik Garuda, jenis Boeing 737-800.
Melia mengapresiasi workshop jurnalis ini. Karena, bisa memberikan informasi kepada masyarakat berkaitan pengembangan katalis dan produk biofuel yang telah dihasilkannya.
“Kami ingin meluruskan informasi di masyarakat mengenai katalis, jadi ada yang bilang bahwa katalis itu dari sawit. Padahal, katalis itu bukan dari sawit. Tetapi katalis ini membantu sawit untuk proses konversi minyak sawit dan inti sawit menjadi bahan bakar nabati,” kata Melia.
Sementara, seperti dilansir dari Antara Anggota Tim Pengembang Katalis PRK ITB lainnya, IGBN Makertiharta, mengungkapkan bahwa masih banyak kegiatan dan usaha yang harus dikerjakan agar teknologi katalisis dan proses produksi bahan bakar nabati dari sawit ini dapat diterima dan dikembangkan hingga skala komersial dan diterima oleh masyarakat Indonesia hingga memiliki keekonomian lebih layak.
Namun menurutnya ini potensi besar bagi Indonesia menjadi penghasil bahan bakar nabati mengingat Indonesia adalah produsen minyak nabati terbesar di dunia.
"Dan rumah bagi banyak sekali sumber daya alam minyak nabati, misalnya kelapa, nyamplung, kemiri sunan, malapari, biji karet, biji kapok, dan lain sebagainya, termasuk minyak jelantah," kata Hari.
Tetapi, tambahnya, usaha pengembangan dan hilirisasi hasil penelitian dalam bidang katalis untuk proses produksi bahan bakar nabati ini, harus pula disertai dengan kegiatan-kegiatan lain terkait dengan studi keberterimaan produk, studi pasar, diskusi dan premis tentang kebijakan yang berpihak pada petani dan produk bahan bakar nabati.
"Termasuk studi life cycle analysis, dan lain sebagainya. Artinya keberpihakan pemerintah untuk pemanfaatan sawit sebagai bahan baku bahan bakar nabati mutlak diperlukan," tuturnya.
Kunjungan ke ITB ini merupakan bagian dari rangkaian Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit yang diselenggarakan oleh Majalah Sawit Indonesia. Tujuan kegiatan ini untuk mengetahui perkembangan katalis serta manfaatnya bagi pengembangan biofuel di Indonesia.