Kamis 01 Feb 2024 08:44 WIB

Menunggu Kelucuan Berikutnya di Kampus PTNBH

PTNBH menjadi pangkal persoalan dari semua polemik yang terjadi.

Seratus lebih mahasiswa ITB melakukan aksi demonstrasi menolak penggunaan aplikasi pinjol untuk program biaya kuliah mahasiswa, di depan Gedung Rektorat ITB, Kota Bandung, Senin (29/1/2024).
Foto: Republika/M Fauzi Ridwan
Seratus lebih mahasiswa ITB melakukan aksi demonstrasi menolak penggunaan aplikasi pinjol untuk program biaya kuliah mahasiswa, di depan Gedung Rektorat ITB, Kota Bandung, Senin (29/1/2024).

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika

Kurang lucu apa? Sebuah perguruan tinggi negeri (PTN), kampus milik negara, menggandeng lembaga pinjaman online (pinjol) untuk skema pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswanya. Mereka yang tak bisa membayar UKT jelang semester berjalan, diarahkan pihak kampus mengambil pinjaman di sana.

Kampus dapat UKT dari mahasiswa. Sisanya, mahasiswa berurusan dengan pinjol dan harus memikirkan cicilan bulanan dengan tenor beragam, mulai dari 6 bulan, 12 bulan, atau 24 bulan. Dan itu difasilitasi kampus. Oh iya, pinjaman itu berbunga!

Baca Juga

Senin (29/1/2024), Deovie Lentera Hikmatullah (20 tahun) menceritakan semua, bagaimana ketidakmampuannya membayar UKT berujung pada tawaran dari kampus agar ia menggunakan skema dari pinjol yang telah bekerja sama dengan tempat ia kuliah. Sebagian mahasiswa terpaksa mengambil opsi itu daripada tidak bisa kuliah karena dipaksa cuti dengan status belum membayar UKT.

Dia bersama seratusan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) lainnya lantas menuntut penghentian kerja sama kampus dengan lembaga pinjol Danacita, di depan Rektorat ITB.  Deovie merupakan salah satu mahasiswa ITB yang kesulitan membayar UKT sejak pertama kali menginjakkan kaki sebagai mahasiswa ITB pada 2020. Tiap semester, ia diharuskan membayar UKT sebesar Rp 12,5 juta.

Mahasiswa Jurusan Teknik Biomedis pada Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB ini seringkali mengajukan keringanan UKT. Singkat cerita, pihak kampus melalui sistem menyarankan untuk menggunakan aplikasi pinjol biaya kuliah Danacita. Namun, Deovie enggan mengambil saran tersebut karena tidak mau berutang. Ia merasa ada ‘jebakan’ di sana.

Bagaimana rasanya jika kita disarankan kampus negeri, sebuah kampus milik negara, tempat kita menimba ilmu, untuk meminjam uang berbunga demi melunasi uang kuliah? Memang agak getir mendengar ceritanya.

Kerja sama pihak kampus dengan lembaga pinjol ternyata juga telah dilakukan oleh banyak kampus negeri. Di antaranya Universitas Gadjah Mada (UGM). Pihak kampus mengeklaim, fakultas yang menerapkan pembayaran UKT menggunakan pinjol, baru ada di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM. Selain UGM, juga ada Universitas Padjajaran (Unpad) di Fakultas Kedokteran Gigi. Ketiga kampus itu memang terdaftar di website Danacita sebagai mitra.

Semua tahu ‘kelas’ ITB, UGM, dan Unpad di peringkat kampus terbaik di Tanah Air. Ketiganya merupakan perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH). Sebuah status yang memberikan otonomi penuh kepada kampus untuk mengelola rumah tangganya, dari aspek akademis hingga pengelolaan keuangannya.

Masih ingat penangkapan Karomani, yang ketika terjaring OTT KPK masih menjabat rektor Universitas Lampung (Unila)? Kini, putusannya sudah inkrah. Dia terbukti menerima suap terkait penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. KPK waktu itu secara terbuka bilang bahwa lemahnya tata kelola dalam penerimaan mahasiswa jalur mandiri menjadi celah korupsi.

Mendikbudristek Nadiem Makarim kemudian mengeluarkan Permendikbud Nomor 48 Tahun 2022 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru. Apa isinya? Aturan baru itu, sama sekali tidak mengubah kuota jalur mandiri sebelumnya. Kuota jalur mandiri tetap menjadi ‘raja’ dengan di kampus PTNBH. Di aturan ini, diatur bahwa kuota Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) 20 persen. Sedangkan Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) 30 persen. Jalur Mandiri? 50 persen!

Saya tidak akan mengulang menjelaskan betapa tidak adilnya komposisi kuota ini. Dalam tulisan saya sebelumnya, ‘Jangan Mimpi Kuliah Murah Jika Kampus Masih PTNBH’, sudah ada penjelasan di sana. Mungkin artikel itu akan membantu memahami, apa akar persoalan mahalnya biaya kuliah di kampus negeri yang saya sebut sebagai ‘penyakit tahunan’ atau ‘penyakit semesteran’.

Di tulisan ini saya ingin menambahkan, Permendikbud 62/2023 tentang perubahan Permendikbud 48/2022 menambahkan klausul yang menjengkelkan. Di Pasal 16 dinyatakan, jika daya tampung SNBP tidak terpenuhi, bisa dialihkan ke jalur SNBT. Di ayat berikutnya, jika daya tampung SNBT tidak terpenuhi, bisa dialihkan ke seleksi Jalur Mandiri. Perubahan daya tampung ini ditetapkan melalui keputusan pemimpin PTN. Berarti, kuota Jalur Mandiri dimungkinkan lebih dari 50 persen? Luar biasa.

Saya tidak akan bosan bilang, bahwa pangkal persoalan atas kelucuan-kelucuan yang terjadi semua ini adalah status PTNBH yang tersemat. Kita tinggal menunggu saja isu yang sama dengan model-model berbeda berikutnya. Mungkin sekitar Juni-Juli jelang semester ganjil nanti. Peristiwa serupa dengan lokasi dan waktu berbeda akan muncul.

Selama Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum tidak dicabut, jangan harap isu mahalnya biaya kuliah yang berkelindan dengan ketidakmampuan membayar para mahasiswa akan terus mengemuka.

PTNBH sebenarnya diberi keleluasaan mencari pendanaan dari berbagai sumber. Cita-citanya ketika aturan ini diteken, kampus bisa lincah dan kreatif melihat peluang tanpa dibelit aturan yang mengekang. Yang terjadi hari ini justru beragam masalah muncul, termasuk kasus korupsi mantan rektor Unila, Karomani. Paling banyak adalah persoalan mahasiswa tak mampu membayar biaya kuliah yang selangit. Setelah lebih dari satu dekade berjalan, cita-cita itu jauh panggang dari api. Artinya, sudah lebih dari cukup untuk masuk kriteria urgen dievaluasi.

Sudah hampir sepekan kasus pinjol UKT di ITB ini bergulir. Apa yang terjadi di Kampus Ganesha itu tentu fenomena gunung es. Pasti. Tetapi sampai hari ini, Mendikbudristek Nadiem Makarim belum bicara apapun. Kita butuh ketegasannya. Kita ingin melihat bagaimana langkahnya menghentikan semua ini. Atau, jangan-jangan benar, mahasiswa miskin memang tidak lagi boleh kuliah di kampus negeri?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement