Jumat 26 Jan 2024 20:02 WIB

Melihat Urgensi Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Perempuan adalah pembangun peradaban.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi sosialisasi caleg perempuan.
Foto: antara
Ilustrasi sosialisasi caleg perempuan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) menekankan pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen. Partisipasi politik perempuan disebut merupakan hal penting dalam memastikan hadirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung, meberdayakan, dan memfasilitasi kebutuhan perempuan di berbagai bidang pembangunan.

“Keterwakilan perempuan di parlemen dan partisipasi politik perempuan dalam Pemilu bukan hanya sekedar angka semata,” ucap Plt Sekretaris Kemen-PPPA Titi Eko Rahayu dalam siaran pers, Rabu (24/1/2024). 

Baca Juga

Dia menjelaskan, dengan adanya keterwakilan perempuan di parlemen maupun partisipasi politik mampu memastikan hadirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung dan memberdayakan perempuan. Hal itu juga dapat berkontribusi dalam perubahan yang nyata dan dirasakan perempuan. 

Menurut dia, salah satu bukti nyata yang dirasakan bersama adalah peraturan yang dikeluarkan pada 2022, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Peraturan itu berhasil disahkan dan hadir untuk memastikan perlindungan bagi perempuan. 

Titi menekankan, meskipun adanya kebijakan afirmasi terhadap perempuan di bidang politik, keterwakilan perempuan di parlemen harus terus didorong dan diperjuangkan karena kesenjangan dalam partisipasi perempuan di dunia politik masih dirasakan. Keterwakilan perempuan masih belum setara di lembaga legislatif karena perempuan kerap kali masih terbelenggu dalam sistem budaya. 

“Yang belum sepenuhnya dapat menerima kehadiran dan partisipasi penuh perempuan dalam berbagai bidang, salah satunya politik,” kata dia. 

Perempuan adalah pembangun peradaban, setiap anak yang lahir di dunia, bertumbuh menjadi pemimpin, tidak lepas dari peran perempuan. Perempuan merupakan individu dengan kepekaan emosional sehingga dampak keterlibatan perempuan dalam politik mampu membangun pendekatan-pendekatan keberpihakan yang lebih humanistik dan melibatkan perempuan. 

“Momentum Pemilu 2024 ini dia harap dapat menggugah kesadaran semua pihak untuk mewujudkan dan mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Mari bersama-sama kita teguhkan komitmen untuk mewujudkan parlemen yang lebih baik dengan mendukung keterwakilan perempuan calon legislatif yang berkualitas,” tutur Titi.

Semua itu disampaikan dalam seminar nasional ‘Perempuan Indonesia untuk Parlemen’. Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA Lenny N Rosalin menyampaikan, kegiatan itu bertujuan tidak hanya untuk mendorong dan mendukung keterwakilan perempuan di parlemen semata, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen. 

“Peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen harus disertai dengan pengawalan dan perjuangan yang berpespektif gender, dan dilakukan secara berkelanjutan di dalam proses politiknya. Kita harus memastikan kuota keterwakilan perempuan di parlemen tidak akan efektif jika kesetaraan gender, pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan politik perempuan masih minim,” jelas dia.

Lenny mengatakan, seluruh pihak perlu bahu-membahu membuka ruang seluas-luasnya, bukan hanya kesempatan bagi perempuan untuk terlibat, tetapi juga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan peningkatan keterampilan politiknya. Peran perempuan di legislatif diharapkan dapat memberikan dampak positif antara lain dikaitkan dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang responsif gender.

Pada kesempatan tersebut, perwakilan peserta yang hadir dari berbagai pemangku kepentingan membacakan Komitmen Perempuan Indonesia pada Pemilu 2024, yakni mendorong para perempuan Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024; mendukung keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2024; mendorong kepada seluruh pemilih untuk memberikan kesempatan kepada calon legislatif (caleg) perempuan yang berkualitas.

“Dan mendorong perempuan Indonesia untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu dan menghindari politik transaksional demi terwujudnya Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil),” kata dia.

Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos mengatakan, salah satu tantangan caleg perempuan dalam Pemilu 2024 adalah persepsi sebagian masyarakat yang masih menganut nilai sosial dan budaya yang cenderung patriarki. Kondisi itu membuat masyarakat mengesampingkan sisi rekam jejak politik, aspek intelegensia, kemampuan manajerial, dan kualitas kepemimpinan caleg perempuan.

Selain itu, tantangan keterpilihan perempuan adalah kecenderungan partai politik (parpol) yang menempatkan caleg perempuan pada nomor urut 3 pada aturan minimal satu perempuan dalam tiga calon. Dalam sistem proporsional terbuka, perempuan dimanfaatkan hanya untuk mendulang suara, tapi tidak diharapkan untuk terpilih.

“Aksi afirmasi pencalonan perempuan hanya memberikan akses mendorong pencalonan perempuan, sementara pada proses kontestasi untuk mendapatkan kursi masih terdapat ketimpangan dalam strategi berpolitik, mengakses informasi, dan berelasi dengan calon konstituen,” jelas dia.

Lebih lanjut, Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menyampaikan perempuan kerap kali menghadapi berbagai hambatan dalam upaya keterlibatan dan keterpilihan perempuan dalam politik. Adapun hambatan yang sering ditemui, di antaranya diskriminasi dan inkonsistensi regulasi terkait pelibatan perempuan di politik.

Kemudian faktor sosial dan kultural masyarakat yang masih mendiskriminasikan perempuan;  politik biaya tinggi; politik transaksional di pemilu; politik afirmasi keterwakilan perempuan masih dianggap sebagai beban oleh partai politik, sehingga tidak adanya kaderisasi, pendidikan, dan penguatan kapasitas politik yang berkesinambungan.

“Lalu perempuan dianggap kurang kompetitif dibanding caleg laki-laki dan perempuan masih kesulitan dalam memberikan suara secara sah,” terang Titi.

Direktur Eksekutif Puskapol FISIP UI, Hurriyah mengemukakan perlunya memperbaiki kualitas Pemilu untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, antara lain dengan meningkatkan kualitas literasi politik pemilih.

“Kita tidak sedang memperbaiki kesetaraan politik di dalam Pemilu, tetapi PR (pekerjaan rumah) besar adalah memperbaiki kualitas Pemilu kita. Ketika kondisi ideal itu terjadi, Hurriyah optimistis dukungan terhadap politisi perempuan bisa meningkat,” kata Hurriyah.

Sementara itu, Aktivis Politik Perempuan Kanti W Janis menegaskan, perempuan yang nantinya bisa terpilih sebagai wakil rakyat diharapkan tidak hanya mendapat jabatan ‘pemadam kebakaran’ semata. Tetapi keberadaannya nanti, diharapkan bisa berkontribusi pada ruang lingkup yang bukan hanya membahas masalah perempuan saja.

“Keberadaan Anggota Legislatif (Aleg) perempuan harus ditaruh di komisi-komisi yang menyelesaikan akar permasalahan, kembali ke masalah ekonomi, masalah lingkungan hidup, masalah pendidikan, dan keamanan,” ujar Kanti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement