REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti menyarankan, program food estate bukan solusi ketahanan pangan Indonesia. Menurut dia, masalah ketahanan pangan harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan kesehatan.
"Kalau ada food estate yang buat hutan gundul, sehingga ada problem banjir, tanah longsor, itu sebaiknya dievaluasi," kata Esther kepada wartawan di Jakarta dikutip Sabtu (20/1/2024).
Esther menilai, masalah pangan di Tanah Air begitu kompleks. Dia menyebut, ada sejumlah tantangan yang masih dihadapi petani dalam proses produksi. "Tantangan ketahanan pangan di Indonesia bukan hanya supply, lalu dengan solusi perluasan lahan. Tapi harus dilihat dari faktor akses terhadap teknologi, R&D (riset dan pengembangan), dan lain-lain," kata Esther.
Menurut dia, permasalahan ketahanan pangan dari sisi petani, salah satunya ada pada kendala bahan baku. "Ada masalah pupuk susah, harganya mahal," ujarnya.
Tantangan petani selanjutnya, kata Esther, adalah harga komoditas yang sering merosot saat panen. Berbagai tantangan tersebut, sambung dia, dilengkapi dengan absennya strategi ketahanan pangan yang pas dan detail.
Masalah pangan lainnya adalah stabilitas harga pangan di pasar. Esther menyebut, harga beras yang tak kunjung turun, bahkan ketika pemerintah sudah mengimpor beras. "Artinya, bisa jadi ada faktor-faktor lain yang mesti dibenahi. Misalnya, biaya logistik atau perkara distribusi," katanya.
Isu pangan bakal menjadi salah satu tema dalam debat cawapres di Jakarta Covention Center, Senayan pada Ahad (21/1/2024). Soal visi misi, pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menjadi pasangan calon yang membawa program food estate.
Pasangan ini akan mengandalkan program pembukaan lahan tanaman pangan baru berskala besar, terutama untuk padi, jagung, singkong, kedelai, dan tebu.