REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah daerah (pemda) diingatkan tidak boleh semena-mena membatalkan secara sepihak izin kampanye pasangan calon capres-cawapres, terlebih jika izin sebelumnya sudah diberikan. Kalau ada pemda melakukan itu, menurut pakar hukum tata negara Prof Ni’matul Huda, sama saja menghalangi tahapan pemilu dan melanggar perintah konstitusi.
"Jika pemda tidak memberikan izin untuk kegiatan yang terkait dengan proses pemilu, maka bisa kita gugat pemda karena menghalang-halangi pemilu dan melanggar perintah konstitusi," ujar Ni'matul kepada pers di Jakarta, Selasa (2/1/2024).
Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Tim Hukum Nasional Timnas Amin, Hamdan Zoelva menyampaikan, ada enam pemda yang membatalkan izin kampanye capres Anies Rasyid Baswedan. Menurut Hamdan, hal tersebut menunjukkan ketidakadilan.
Ni’matul berpendapat, jika KPU dan Bawaslu tidak bertindak atas persoalan pencabutan izin kampanye yang sudah disetujui, sama saja dengan melakukan pembiaran dan berkhianat terhadap mandat rakyat sebagai penyelenggara pemilu. "Itu berarti menjadi bagian dari tindakan pelecehan terhadap daulat rakyat dan konstitusi," tegas Ni’matul.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu menilai, KPU melalui KPU di daerah seharusnya sudah berkomunikasi dengan pemda untuk ikut mensukseskan pemilu. "Sehingga kalau ada pemda yang tidak kooperatif, berarti kepala daerahnya menghalang-halangi kegiatan tahapan pemilu, yakni kampanye," ujar Ni'matul.
Dia menjelaskan, KPU di daerah adalah struktur terbawah dari KPU RI, yang tugas, kewajiban, dan wewenangnya secara garis besar menyiapkan dan menyelenggarakan semua hal terkait pemilu. Sehingga, mereka harus mengawal agenda capres-cawapres yang sudah terjadwal.
"(Kalau) pemda tidak ada garis komando dengan KPU. Dia garisnya ke atas, ke Kemendagri atas nama presiden. Jadi, pemda sifatnya membantu mensukseskan pelaksanaan prosesi semua tahapan pemilu," ucap Ni'matul.