Senin 18 Dec 2023 17:29 WIB

Zionis Israel Anomali PBB dan HAM, Catatan Peringatan Hari HAM Ke-75

PBB tak mampu menghentikan dehumanisasi yang dilakukan Zionis Israel di Gaza.

Warga Palestina yang terluka akibat pemboman Israel di Jalur Gaza tiba di sebuah rumah sakit di Khan Younis pada Jumat (8/12/2023).
Foto:

Anomali HAM

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah atas inisiatif Harry S. Truman, presiden AS yang mengajukan International Bill of Rights pada 1946. Selanjutnya PBB yang baru berusia kurang dari setahun membentuk tim yang dipimpin oleh Eleanor Roosevelt bertugas menyusun draftnya mulai Februari 1947. Draft itu kemudian ditetapkan menjadi Deklarasi HAM di Paris pada Desember 1948 setelah 48 dari 58 anggota PBB menyetujuinya.

Secara umum, deklarasi HAM disusun dan ditetapkan sebagai upaya mencegah dehumanisasi yang terjadi amat dahsyat sepanjang perang dunia pertama 1914-1918 dan kedua tahun 1939-1945, agar tidak terjadi lagi di masa depan. Adapun isinya terdiri dari pembukaan yang berisi tentang pengakuan akan hak dan martabat manusia, pernyataan bahwa dehumanisasi hanya akan mengakibatkan tindakan keji, perlunya peraturan hukum, dan persahabatan antar bangsa.

Sedangkan pasal-pasalnya berisi tentang status semua manusia memiliki bermartabat dan memiliki hak yang sama, setiap orang berhak atas hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi. Hak itu adalah setara di hadapan hukum termasuk pembelaanya, tidak dapat diperlakukan sewenang-wenang, berhak atas kemerdekaan berpikir dan berpendapat, berhak atas kebebasan berkumpul, memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan umum, dan memiliki hak sama atas Pendidikan.

Tetapi bagi Zionis Israel butir-butir hak asasi manusia dalam deklarasi itu tidak menjadi pijakan mereka dalam melakukan pendekatan dengan rakyat Palestina. Setidaknya ada delapan alasan Zionis Israel menjadi anomali dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Pertama, Zionis Israel melakukan pembersihan etnik, pengusiran, dan perampasan tanah di masa Nakba tahun 1947-1949, pembantaian Deir Yasin, Khan Younis, Tantura, dan Sabra-Shatila. Kedua, Zionis Israel menerapkan politik apartheid berupa segregasi berbagai aspek kehidupan di wilayah pendudukan di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Persis seperti yang dahulu dilakukan oleh Dominion Inggris di Afrika Selatan.

Ketiga, memblokade Gaza sejak tahun 2007 menjadi penjara terbuka terbesar di dunia. Keempat, menerapkan hukuman kolektif (collective punishment) terhadap rakyat Palestina.

Zionis Israel kerap menghukum keluarga dari seseorang yang dianggap melawan atau berbahaya untuk kepentingan mereka. Caranya, jika di Tepi Barat dengan menghancurkan rumah tahanan sehingga membuat keluarga tahanan terusir. Sedangkan jika di Gaza, mereka membom sesisi rumah termasuk keluarga yang tinggal di dalamnya.

Bahkan selama genosida di Gaza, Zionis Israel menghancurkan 1 blok di Jabaliya, Gaza Utara karena dugaan ada seorang pemimpin Hamas di sana. Ratusan warga di blok itu terbunuh, tanpa bisa mengkonfirmasi target pemimpin Hamas itu benar-benar ada di sana.

Kelima, menerapkan penahanan administratif (administrative detention). Dalam penahanan administratif seseorang dapat ditahan tanpa tuduhan dan pengadilan. Alasannya hanya dugaan bahwa orang itu dapat merencanakan sesuatu yang berbahaya. Menurut catatan B’Tselem, sejak 2015-2017 lebih dari 3900 warga Palestina di tahan oleh Zionis Israel melalui administrative detention.

Keenam, melakukan Yahudisasi di kompleks Masjid Al Aqsa. Orang-orang Yahudi ekstrimis kerap menerobos komplek Al Aqsa. Di minggu pertama Oktober 2023 saja, lebih dari 4.000 ekstremis Yahudi yang menerobos Al Aqsa (Middle East Monitor 5/10). Pelanggaran ini kerap memprovokasi rakyat Palestina. Sering terjadi bentrokan di masjid kiblat pertama umat Islam itu. Bahkan pada September 2000, aksi PM Israel Ariel Sharon bersama ratusan pendukungnya masuk Al Aqsa berujung perlawanan intifada kedua atau Intifada Al Aqsa.

Selain itu, MinaNews (15/6) melaporkan bahwa Zionis Israel sedang mempersiapkan rancangan undang-undang pembagian komplek Masjid Al Aqsa. Sebagian tetap menjadi tempat ibadah umat Islam dan sebagian yang lain menjadi tempat ibadah orang-orang Yahudi. Sebelumnya Masjid Ibrahimi di Hebron telah berhasil dibagi dua oleh Zionis Israel.

Ketujuh, membiarkan bahkan memfasilitasi warga Yahudi untuk mempersekusi warga Palestina dalam peristiwa Huwara di Tepi Barat. Kedelapan, melakukan genosida di Gaza, menghancurkan rumah sakit, masjid, gereja, sekolah, dan puluhan ribu rumah warga yang masih berlangsung sampai hari ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement