REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mendorong penguatan kerja sama dan kolaborasi secara berkelanjutan negara-negara di kawasan Samudra Hindia. Tujuannya untuk mencegah sekaligus meminimalisasi risiko akibat bencana gempa bumi dan tsunami yang dapat sewaktu-waktu terjadi.
“Tsunami Aceh 2004 silam menjadi pelajaran bagi negara-negara di kawasan Samudra Hindia bahwa tsunami yang terjadi tiba-tiba berdampak fatal bagi negara-negara di kawasan tersebut dan menyebabkan banyak korban jiwa,” ujar Dwikorita dalam keterangannya disiarkan di Jakarta, Ahad (17/12/2023).
Dwikorita membuka “Webinar of Lessons Learnt during Exercise Indian Ocean Wave 2023” yang diselenggarakan Inter-Governmental Coordination Group for Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System (ICG/IOTWMS), baru-baru ini. Dwikorita yang juga menjabat sebagai Chair of ICG/IOTWMS ini menyebut bahwa Samudra Hindia merupakan salah satu wilayah di dunia yang sangat rawan terhadap tsunami.
Diterangkan, Samudra Hindia terdiri dari dua zona subduksi yang dapat menyebabkan tsunami di seluruh samudra. Maka dari itu, ancaman tersebut, kata dia, harus diantisipasi dengan membangun kapasitas seluruh negara agar dapat merespon potensi tsunami secara tepat waktu.
Utamanya dalam peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat, serta peningkatan keterjangkauan informasi kepada masyarakat. Salah satu cara cara meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman tsunami yakni dengan membentuk Tsunami Ready Community. Tsunami Ready Community adalah program peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman tsunami berbasis pada 12 indikator aspek penilaian potensi bahaya (assessment), kesiapsiagaan (preparedness) dan respon yang telah ditetapkan UNESCO-IOC.
“Dengan kerja sama dan kolaborasi yang kuat diharapkan seluruh negara mampu memberikan layanan warning tsunami pada masyarakat termasuk yang disebabkan oleh faktor selain gempabumi tektonik dan juga warning tsunami untuk wilayah non-subduksi gempa bumi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan bahwa pada 2023, telah dilaksanakan Indian Ocean Wave Exercise 2023 (IOWave23) dengan empat skenario yakni pada tanggal 8, 11, 18, dan 25 Oktober 2023. Untuk pertama kalinya, diputuskan untuk melakukan simulasi tsunami non seismik yang dihasilkan oleh letusan gunung berapi selama latihan IOWave.
Empat skenario tersebut masing-masing yaitu Skenario Palung Andaman mulai pukul 04:00 UTC pada hari Rabu, 4 Oktober 2023: Gempa bumi berkekuatan ~9 SR di lepas pantai barat Kepulauan Nicobar, India. Kedua, skenario Palung Makran mulai pukul 06:00 UTC pada hari Rabu 11 Oktober 2023: Gempa berkekuatan ~9 SR di Samudra Hindia Barat Laut.
Lalu, ketiga skenario Pulau Heard mulai pukul 06:00 UTC (letusan pukul 05:00 UTC) pada hari Rabu 18 Oktober 2023: Letusan gunung berapi di Wilayah Kepulauan Kerguelen di Samudra Selatan. Dan, keempat skenario Palung Jawa mulai pukul 02:00 UTC pada hari Rabu 25 Oktober 2023: Gempa bumi berkekuatan ~9 SR di selatan Jawa, Indonesia.
Dia mengatakan, sedikitnya ada tujuh negara anggota melakukan latihan evakuasi dengan partisipasi sekitar 45 ribu orang. Latihan evakuasi ini melibatkan masyarakat, pria, wanita, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Bagi BMKG sendiri, kata dia, IOWave ini sangat penting dilaksanakan untuk mengevaluasi rantai peringatan dini tsunami dan kesinambungan SOP, serta keterlibatan para pihak. Selain itu, kegiatan ini dapat mengevaluasi tautan komunikasi di setiap daerah terkait operator 24/7, termasuk kelengkapan alat komunikasi dan kesiapan stakeholder dalam menerima serta memahami peringatan dini tsunami.
“Latihan ini agar pemerintah, masyarakat, dan seluruh pihak terkait lebih terampil, cekatan, tidak canggung, dan tidak panik saat tsunami terjadi, serta tahu apa yang harus dilakukan jika sewaktu-waktu terjadi gempa bumi dan tsunami. Mengingat, hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kapan terjadinya gempa bumi dan tsunami,” ujar dia.