Kamis 07 Dec 2023 00:05 WIB

Enam Kasus Mycroplasma Pneumonia Ditemukan di Jakarta, Ini Gejala yang Dirasakan Pasien

Semua pasien mycroplasma pneumonia memiliki gejala yang hampir sama.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Batuk (ilustrasi)
Foto: Flickr
Batuk (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat ada enam kasus mycoplasma pneumonia yang terjadi di Indonesia. Dari enam pasien itu, seluruhnya sudah kembali sehat setelah menjalani perawatan, baik itu rawat inap ataupun rawat jalan.   

“Saat ini ada enam kasus mycoplasma pneumonia yang pernah, saya katakan yang pernah karena ini ternyata sudah lama, pernah dirawat di beberapa rumah sakit. Ada dua (rumah sakit), yang lima di Medistra, dan 1 di Rumah Sakit JWCC,” ujar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu dalam konferensi pers, Rabu (6/12/2023).

Baca Juga

Maxi merinci, pasien mycoplasma pneumonia di Rumah Sakit Medistra ada yang dirawat inap dan dirawat jalan. Di mana, dua orang dirawat inap pada 12 Oktober dan 25 Oktober 2023. Kemudian sisanya dirawat jalan pada November 2023. Sementara di Rumah Sakit JWCC ada satu pasien yang dirawat inap, sisanya dirawat jalan. Kini, semuanya sudah pulih dari penyakit itu. 

“Laporan dari yang kami dapat laporan dari rumah sakit, mereka semua sudah sembuh. Semua sudah sembuh dan memang gejala awalnya, sama dengan pneumonia pada umumnya,” jelas Maxi.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium, para pasien itu memang positif bakteri mycoplasma pneumoniae. Dia menjelaskan, gejala yang dialami oleh seluruh pasien tersebut serupa, yakni demam, batuk disertai ingus, sakit kepala, dan terasa sesak. Pasien-pasien tersebut berada di rentang usia tiga sampai 12 tahun. Semuanya, kata dia, mengalami gejala yang hampir sama. 

“Kami mengambil cross check untuk dua sampel yang masih ada di simpan rumah sakit Medistra dan memang ada bakteri mycoplasma pneumoniae,” kata dia.

Dari temuan itu, Maxi menjelaskan, Kemenkes akan melakukan penelusuran lebih lanjut dengan penyelidikan epidemologi. Tim dari Kemenkes, kata dia, akan menggali informasi terkait pasien-pasien itu, mulai dari tempatnya sekolah, di mana dia tinggal, dan lainnya untuk dapat segera melakukan intervensi. Sebab, penyakit itu mudah menular lewat droplet.

“Pokoknya di sekolah itu siapa aja yang kena, tinggal di mana, itu kita akan kejar sehingga kita bisa melakukan intervensi. Penularannya kan droplet. Jadi mudah sekali menular,” jelas Maxi.

Maxi pun kembali mengingatkan seluruh pihak terkait untuk melaporkan kepada Kemenkes dalam waktu satu kali 24 jam apabila menemukan pasien dengan mycoplasma pneumonia. Hal itu perlu dilakukan sebagaimana surat edaran yang sudah diterbitkan oleh Kemenkes beberapa waktu lalu untuk mencegah penyebaran penaykit mycoplasma pneumonia. 

“Itu langkah-langkah yang akan kita buat, sambil terus kami mengimbau pada masyarakat agar supaya perilaku hidup bersih itu tetap dilakukan. Sering mencuci tangan pakai sabun itu dilakukan. Kalau flu, ada sakit saat beringus, itu wajib ya, sebenarnya itu diri sendiri yang mewajibkan pakai masker. Kalau pemerintah mengimbau,” tutur dia.

Meski demikian, Maxi menekankan, penanganan penyakit tersebut sejatinya tidak terlalu sulit untuk dilakukan karena bukan berbentuk virus, melainkan bakteri. Penanganannya, kata dia, hanya membutuhkan antibiotik. Di samping itu, dia juga menuturkan, penyakit mycoplasma pneumonia bukanlah penyakit baru, tapi penyakit yang umum sejak dulu, bahkan sebelum ada Covid-19. 

“Jadi penyakit ini memang sudah lama ada. Cuma memang di China itu naik, naiknya apa karena pengaruh musim itu juga belum tahu. Tapi memang umumnya di Eropa, kalau penyakit ini di musim panas, itu rata-rata naik. Jadi kadang di musim panas mau beralih ke hujan, ada perubahan, pancaroba,” ungkap dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement