Sabtu 02 Dec 2023 08:17 WIB

Rasimah Ismail: Perempuan Penentang Kolonial Belanda di Minangkabau, Dijerat Spreekdelict

Pada 1932 Rasimah dibuang ke Jawa dengan diiringi lagu Indonesia Raya

Rasimah Ismail
Foto:

Dijerat Spreekdelic dan Dibui di Jawa Tengah

Dalam sidang berikutnya, Hakim kembali meminta klarifikasi dari laporan veldpolitie yang hadir dalam openbare yang digelar PERMI itu. “Kamu menerangkan, bahwa negeri ini sudah banyak kekacauan! Sehingga hal itu bisa merusak dan merendahkan Islam! Betul kamu bicara begitu!”

“Betul” jawab Rasimah.

“Kamu juga menyinggung imprealisme. Kamu tau itu apa?” tanya hakim Mr.Guijt.

Tanpa basa-basi, Rasimah langsung menjelaskan dengan lantan, bahwa imprealisme adalah afsu serakah, mengeruk kekayaan bangsa lain. Bila kekayaan mereka terus dikeruk Belanda, tentu saja rakyat melarat dan terhina.

Dalam pledoi pembelannya, Rasimah menegaskan, bahwa diseretnya ia ke pengadilan, bukan persoalan individu. Ia menegaskan, telah menempuh jalur yang benar untuk menuju Indonesia merdeka.      

“Tuan Hakim Ketua, Saya akui openbare PERMI amat banyak perhatian dari rakyat! Bukan didorong spreker yang panas! Bukan karena hasutan! Tapi dibawa oleh bangunnya kesadaran dari rakyat Indonesia!” – demikian Rasimah menutup pledoinya – yang disambut gemuruh pendukungnya yang datang dari Aceh, Tapanuli, Palembang, dan tentunya sekitar Sumara Barat (Sumatra Bode, 2 April 1933). 

Putusan Landraad Fort de Kock, tetap memutus bersalah Rasimah Ismail, anggota perempuan  dari PERMI. Ia dijerat tuduhan yang sama dengan Rasuna Said yakni Artikelen 153-154.  

Rasimah dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara. Pengacara Rasimah kemudian mengajukan banding atas vonis yang tidak adil untuk seorang gadis pergeraka berusia 21 tahun.

Setelah banding dibacakan Djamin, Rasimah segera dikerubungi pengunjung. Ia pun diarak dengan kuda bendi, mengelilingi Fort de Kock. Seakan massa ingin menunjukkan dukungan penuh untuk seorang Rasimah. 

Pasca vonis untuk Rasuna dan Rasimah, demonstrasi digelar oleh kalangan nasionalis di Padang (De Locomotief,  5 April 1933). Tepatnya pada tanggal 14 Juni 1933 demonstrasi besar-besaran di gelar, setelah dipindahkannya Rasuna dan Rasimah ke Padang. Direncanakan, keduanya diangkut Kapal Linschoten menuju Batavia. 

Massa demonstran telah menyemuti dermaga Emmahaven, menuntut agar Rasuna  dan Rasimah, segera dibebaskan.  Saat iring-iringan PID dan veldpolitie yang membawa keduanya lewat, lagu Indonesia Raya segera dikumandangkan massa demonstran. Deli Courant menulis, itulah kali pertama seorang tahanan politik dilepas untuk terakhir kali ke pembuangan, dengan penuh haru (Sufyan, 2022).

Sementara pada saat-saat terakhir, seorang haji melompat ke atas perahu  menuju kapal yang akan berangkat. Rasuna dan Rasimah segera menempelkan lambang Permi ke tangan haji, tanda perpisahan. “Indonesia Raya masih dinyanyikan ketika perahu sudah menjauh dari dermaga,” (Deli Courant, 16 Juni 1933).

 

sumber : Fikrul Hanif Sofyan
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement