Sabtu 02 Dec 2023 08:17 WIB

Rasimah Ismail: Perempuan Penentang Kolonial Belanda di Minangkabau, Dijerat Spreekdelict

Pada 1932 Rasimah dibuang ke Jawa dengan diiringi lagu Indonesia Raya

Rasimah Ismail
Foto:

Berkelindan di PERMI: Menentang Guru Ordonantie dan Anti Kolonial

Pasca keluarnya Rasuna dari Diniyah, Rasimah pun mengikuti jejaknya. Ia memilih ajakan Rasuna untu bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (P.M.I). P.M.I berdiri pada tahun 1930, yang meneriakkan semboyan Indonesia Merdeka, dan mengusung ideologi Islam Kebangsaan. Pada 1932, P.M.I kemudian berubah akronimnya menjadi PERMI.

Nama Rasimah terpatri dalam kesejarahan P.M.I, bersama Iljas Jacoeb, Djalaluddin Thaib, Mochtar Luthfie, A.Ghafar Ismail, Rasuna Said, Rasul Hamidy, Datuk Palimokayo, dan lainnya. Selain namanya, beberapa penggerak perempuan ikut menggerakkan PERMI, seperti Fatimah Hatta, Timur M. Nur, Khasyiah, dan Ratna Sari (Panji Masyarakat, 21 Desember 1982). 

Satu tahun berjalan, aktivitas P.M.I berjalan lancar. Tidak ada hambatan. Rapat,  kursus, dan agenda openbare berjalan mulus, tanpa hambatan. 

Sampai akhirnya Wilden Schole Ordonantie – atau Ordonansi Sekolah Liar digaungkan pemerintah.  Tentu saja, yang disasar aturan ini adalah sekolah-sekolah partikelir, seperti Diniyah, Thawalib, dan sekolah yang berada di bawah persyarikatan Muhammadiyah. 

Belum termasuk aturan Goeroe Ordonantie yang juga akan dipaksakan untuk Sumatra Barat, memicu protes besar-besaran dari guru-guru sekolah partikelir (Deli Courant, 20 November 1928).

PERMI pun tidak tinggal diam. Kedua aturan Kolonial Belanda ini, segera menuai protes dari Rasuna dan Rasimah. Keduanya pun dikenai spreekdelict. Bila ditelisik kembali, Rasimah terjerat soalan Goeroe Ordonantie, juga orasinya di depan massa. 

Rasimah dituduh menyebarkan ujaran kebencian kepada pemerintah, ketika ia berorasi di depan 100 orang massa tanggal 23 Oktober  1932 di Sungai Puar, Oud Agam. “Tanah Indonesia sudah disait-sait, seperti roti  oleh perekonomian Kolonial Belanda!” – demikian seorang hakim ketua Landraad Fort de Kock membacakan kesaksian dari asisten demang Sungai Puar (Sumatra Bode, 10 Februari 1933).

Tuduhan kedua, menurut hakim ketua, Rasimah menyerukan kepada massa, “Untuk mencapai Indonesia merdeka, saya akan berkorban jiwa dan raga!” Hakim menegaskan kepada Rasimah dan pengacaranya Mr. Djamin Datuk Maharadjo Basa, bahwa kata-kata itu adalah penghasutan dan merusak rust en orde. 

Rasimah kemudian menolak tuduhan itu. Ia menegaskan, “Asisten Demang telah berdusta! Boleh jadi saya bicara terlau cepat. Tapi saya tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saya disuruh berhenti berpidato!”(de Sumatra Post, 12 Februari 1933).   

Lanjutan tulisan baca halaman berikurnya....   

 

 

sumber : Fikrul Hanif Sofyan
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement