REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Antara
Belakangan kata gemoy diidentikkan sebagai julukan untuk calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto. Julukan itu kemudian memicu ragam reaksi atau pro-kontra.
Sebelumnya, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengkritik penggunaan gimik politik gemoy dan santuy untuk meraup suara pemilih. Sohibul memang tak langsung menuding kubu Prabowo-Gibran, namun publik bisa menebak kepada siapa kritik itu ditujukan.
"Sekarang ada istilah gemoy, santuy, seakan-akan yang bisa memimpin negeri ini adalah mereka yang gemoy. Gemoy atau santuy ini tentu sesuatu yang tidak sehat," kata Sohibul dalam acara peluncuran kampanye PKS di Depok, Ahad (26/11/2023).
Menurut Sohibul penggunaan gimik boleh-boleh saja dalam politik. Namun, jangan hanya mengedepankan gimik dan saat bersamaan tidak mau adu gagasan.
Tidak hanya lawan politik, kalangan masyarakat sipil juga mengkritik penggunaan gimik-gimik dalam kampanye. Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengingatkan para pemilih muda untuk tidak mudah termakan dengan gimik pasangan calon presiden dan wakil presiden, terutama soal penampilan.
Menurut Titi, tipu daya capres-cawapres lewat penampilan itu biasanya dimanfaatkan untuk menghindari adu gagasan dan ketajaman program kerja. "Ini bukan pemilihan idola yang hanya bisa didekati dengan suara yang bagus, tarian yang bagus, atau personal appearance yang menarik," kata Titi.
Dia menjelaskan pemilih muda memiliki karakter berbeda dari segmen pemilih lainnya. Yakni, lebih mudah teralihkan dengan tampilan fisik atau gimik yang ditawarkan peserta Pilpres 2024.
Titi menganggap hal itu berbahaya karena ruang untuk menguji gagasan dan program para pasangan calon kepada pemilih muda semakin terkikis. Alhasil, lanjut Titi, para pemilih pemula yang berangkat dari usia 17 tahun tersebut hanya menjadi sebatas "ladang suara" yang harus dimenangkan para pasangan calon presiden dan wakil presiden.