Jumat 17 Nov 2023 16:54 WIB

BPK di Tengah Pusaran Suap dan Runtuhnya Pertahanan Pertama Korupsi

BPK semestinya belajar bagaimana membentengi lembaga mereka dari godaan suap.

Pekerja berjalan di balik logo di kantor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pekerja berjalan di balik logo di kantor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,

Ditulis oleh Wartawan Republika, Eko Supriyadi

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)semestinya menjadi benteng pertahanan pertama dalam pemberantasan korupsi. BPK dalam visi dan misi mereka, bertugas untuk. mendorong pencegahan korupsi dan percepatan penyelesaian ganti kerugian negara. 

Selain itu, BPK juga memiliki misi untuk melaksanakan tata kelola organisasi yang transparan dan berkesinambungan agar menjadi teladan bagi institusi lainnya. BPK menjadi lembaga negara yang mengawasi penggunaan uang rakyat oleh penyelenggara negara.

Namun sayangnya, tanggung jawab besar itu diselewengkan oleh oknum-oknum BPK, dari pimpinan hingga bawahan. Salah satu kasus besar yang menyeret anggota BPK adalah korupsi BTS 4G BAKTI Kemenkominfo.

Auditor Keuangan III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi mengakui menerima uang Rp 40 miliar untuk memanipulasi hasil audit penggunaan anggaran proyek dan pembangunan BTS 4G BAKTI Kemenkominfo. Pengembalian uang tersebut dilakukan pada Kamis (16/11/2023) melalui tim pengacara. Tim penyidik menerima pengembalian uang tersebut dalam bentuk mata uang asing setotal 2,02 juta dolar AS, atau setara Rp 31,4 miliar.

Ditambah lagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Pius Lustrilanang pada Rabu (15/11/2023). Dari penggeledahan itu, tim penyidik menemukan barang bukti berupa catatan keuangan yang diduga berkaitan dengan kasus rasuah di Sorong, Papua Barat Daya.

Penggeledahan itu dilakukan setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Yan dan beberapa pihak lainnya pada Ahad (12/11/2023). Setelah dilakukan pemeriksaan, KPK menetapkan Yan dan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pengondisian temuan pemeriksaan BPK di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. 

Lima orang itu adalah Kepala BPK Perwakilan Papua Barat, Patrice Lumumba Sihombing; dan Kepala BPKAD Sorong, Efer Segidifat. Kemudian, staf BPKAD Sorong, Maniel Syatfle; Kasubaud BPK Papua Barat, Abu Hanifa; serta Ketua Tim Pemeriksa BPK Papua Barat, David Patasaung. Dengan terungkapnya kasus ini, sulit mengatakan bahwa pelaku korupsi ini layak disebut oknum. 

Tak hanya sampai di situ, Auditor Badan Pemeriksaan Keuangan Perwakilan Riau Muhammad Fahmi Aressa mengaku menerima suap dari Bupati Kepulauan Meranti nonaktif Muhammad Adil saat bersaksi pada sidang di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Rabu. Fahmi bersaksi terkait kasus suap yang dilakukan Muhammad Adil untuk mengondisikan temuan-temuan hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat usai beberapa pegawainya terjerat kasus korupsi. Tapi maaf saja tidak cukup. Kasus-kasus terbaru saat ini bukanlah yang pertama. Sehingga BPK semestinya belajar bagaimana membentengi lembaga mereka dari godaan suap. Memang berat melawan godaan penyelenggara yang ketahuan menyelewengkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi mereka. 

Namun mencegah dan melaporkan terjadinya korupsi di lembaga pemerintahan maupun lembaga negara merupakan amanah undang-undang. Bahaya dari goyangnya ‘iman’ BPK terhadap suap ini adalah penyelenggara akan terus menerus melakukan prakti kotor dalam mengelola uang negara. 

Belum lagi proyek-proyek yang anggarannya ‘disunat’, kualitasnya akan buruk dan terlebih bisa berbahaya buat masyarakat. Karena itu, BPK menjadi pertahanan pertama pemberantasan korupsi dan terjaminnya penyelenggaraan pemerintaah yang bersih dan bertanggung jawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement