Selasa 14 Nov 2023 13:04 WIB

Hipokrisi Para Pejuang HAM Uighur dalam Kasus Palestina

Kemerdekaan Palestina, adalah janji yang diucapkan oleh para pendiri bangsa ini

Free Palestina. Kemerdekaan Palestina masih diperjuangkan hingga sekarang.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Free Palestina. Kemerdekaan Palestina masih diperjuangkan hingga sekarang.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wimtohari Daniealdi, Dosen FISIP UNIKOM, Bandung

Lagi dan lagi, situasi keamanan di wilayah Palestina mengalami eskalasi yang mengkhawatirkan, setelah serangan roket Faksi Bersenjata Palestina “Hamas” dari Gaza ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023. Merespon serangan tersebut, Israel telah menyatakan status Keadaan Perang (state of war) dan melancarkan serangan balasan dengan membombardir sejumlah sasaran Hamas di wilayah Jalur Gaza menggunakan puluhan jet tempur.

Sejauh ini sudah ribuan korban jiwa dan luka-luka jatuh dari kedua belah pihak. Ini belum lagi kerugian material lainnya. Lebih dari 2.500 jiwa melayang di pihak Palestina. Angka itu melampaui jumlah rakyat Palestina yang tewas dalam perang sengit di antara kedua pihak yang pecah pada 2014.

Ribuan korban yang mengalami luka-luka juga rawan menambah jumlah korban jiwa. Fasilitas medis di Gaza pun mulai kehabisan bahan bakar dan obat-obatan akibat blokade total yang diberlakukan Israel.

Ditambah lagi belakangan, serangan rudal militer Israel pada Selasa malam 17/10/2023, menghantam Rumah Sakit Baptis Al-Ahli di Gaza, Palestina, yang menyebabkan 500 orang meninggal. Para petugas medis menggambarkannya sebagai genosida, kejahatan perang, dan pembantaian.

Komunitas internasional bereaksi marah atas serangan tersebut. Kecaman pun berdatangan dari berbagai penjuru dunia, mulai dari negara negara-negara Timur Tengah seperti Iran, Turki, Qatar, Mesir dan Jordania. Juga negara-negara yang selama ini mendukung Israel seperti Perancis, Kanada dan Inggris. Bahkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden membatalkan kunjungan ke Yordania setelah serangan di rumah sakit Gaza.

Di Amerika sendiri ratusan orang Yahudi Amerika Serikat (AS) menyerbu aula Kongres AS pada Rabu 18/10/2023 untuk menuntut Israel menghentikan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza. Mereka juga mendesak gencatan senjata segera antara militer Israel dan kelompok perlawanan Palestina; Hamas, di Gaza.

Massa tersebut menamakan dirinya Jewish Voice for Peace atau Suara Yahudi untuk Perdamaian. Kelompok itu menyatakan bahwa mereka adalah sebuah perkumpulan “Yahudi yang berorganisasi menuju pembebasan Palestina dan Yudaisme di luar Zionisme”.

Ironisnya, di tengah terang benderangnya fakta genosida yang dilakukan oleh Israel kepada bangsa Palestina, sebagian pihak di Tanah Air justru ada yang membela atau bersikap diam atas kejahatan di bumi para Nabi. Parahnya lagi, mereka adalah para pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini seolah konsisten memperjuangkan isu HAM di suatu wilayah.

Sebut saja misalnya kelompok yang menamakan diri mereka sebagai World Uyghur Congress, yang selama ini terlihat begitu konsisten memperjuangkan isu HAM di Provinsi Xinjiang, Tiongkok, terkait isu pelanggaran HAM Pemerintah Tiongkok atas etnis Uighur di sana. Dalam salah satu artikel bahkan dikatakan, kelompok ini sampai pernah berkunjung ke Indonesia dan bekerjasama dengan beberapa universitas di Indonesia guna menyelenggarakan seminar serta menggalang bantuan untuk etnis Uighur. Sasaran mereka adalah kalangan umat Islam di Tanah Air dengan membangun sentiment solidaritas keagamaan saudara-saudara Muslim Uighur.

Sayangnya, meski sudah berusaha cukup keras menggalang bantuan ke negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, kelompok World Uyghur Congress tidak juga mendapatkan dukungan yang berarti dari publik dan pemerintah Indonesia. Masalahnya mudah ditebak: Pertama, karena adanya ambivalensi sikap kelompok-kelompok seperti ini pada kasus HAM di suatu wilayah dengan kasus pelanggaran HAM di wilayah lain.

Dalam kasus World Uyghur Congress misalnya, mereka tidak membela sedikitpun – ataupun memberikan kecaman – terhadap Isreal yang secara terang-terangan melakukan genosida di Palestina. Bahkan mereka juga tidak memberikan dukungan terhadap saudara-saudara muslim di Pakistan.

Kedua, membandingkan makna genosida terhadap etnis Uighur dengan bangsa Palestina jelas tidak apple to apple. Karena dalam kasus pembantaian bangsa Palestina oleh Israel, duduk perkaranya jelas. Dunia menyaksikannya, bahkan media-media barat yang pro-Israel sekalipun tidak bisa menutupinya.

Sedang dalam kasus dugaan pelanggaran HAM kepada etnis Uighur, sampai saat ini dunia belum memiliki cukup bukti atas fakta adanya genosida di sana. Dalam kerangka ini, perlu juga diverifikasi secara menyeluruh, apakah tindakan pemerintah Cina teradap Muslim Uighur adalah tindakan rasialis seperti Israel kepada Palestina atau pemerintah Myanmar terhadap warga Rohinga?

Karena pada kenyataannya, perlakukan yang sama tidak terjadi dengan komunitas Hui atau Muslim lain di Cina. Masjid-masjid pun masih berdiri dengan tetang di wilayah Cina lainnya. Dengan demikian, agaknya kecil kemungkinan tindakan yang dilakukan pemerintah Cina pada komunitas Muslim Uighur dilatari oleh masalah agama atau rasialisme.

Bila harus dibandingkan, kebijakan pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur, agaknya sama dengan yang dilakukan pemerintahan Donald Trump terhadap imigran dari Amerika Latin. Bagaimanapun, ini merupakan tindakan yang lazim digunakan oleh banyak negara terhadap kelompok yang tidak bersedia berintegrasi secara penuh (baca:separatisme). Ditambah lagi, dalam beberapa tahu belakangan komunitas Muslim Uighur banyak diisukan sebagai kelompok yang bertanggungjawab atas serangkaian aksi terorisme yang terjadi di propinsi Xinjiang.

Bila hal ini benar, maka akan semakin sulit bagi kita memegakan duduk perkaranya. Karena dalam perspektif realisme, setiap negara akan secara natural mempertahankan eksistensi wilayah dari segenap ancaman terhadap integrasi bangsa. Yang mana hal ini juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Ketiga, urgensi isu. Sebagai negara berdaulat yang memegang teguh nilai-nilai Pancasila, kita tentu tidak menyetujui terjadinya pelanggaran HAM dan diskriminasi di belahan dunia manapun. Tapi bila memang isu utamanya adalah HAM, maka bagaimana dengan yang terjadi di Palestina dan Yaman?

Dilihat dari sudut pandang manapun, urgensi isu yang terjadi di Yaman jauh lebih signifikan untuk direspon daripada isu pelanggaran HAM dalam 100 tahun terakhir. Selain itu, kredibilitas isu di Yaman jauh lebih jelas dan pasti daripada isu yang melingkupi masalah Muslim Uighur. Sebagaimana PBB sudah katakan, bahwa kasus Yaman berpotensi akan menjadi bencana kemanusiaan terbesar dalam 100 tahun terakhir di muka bumi.

Atau isu Palestina yang saat ini sedang di ujung tanduk akibat semakin luasnya dukungan negara-negara lain terhadap pernyataan Amerika setahun lalu, yang mengakui Yarusalem sebagai Ibu Kota Israel. Sejauh ini, sudah ada Australia, Guatemala dan Paraguay yang mengikuti jejak Amerika.

Sedang beberapa negara lainnya masih akan menyusuk, seperti Brazil dan sejumlah negara di Kapulauan pasifik. Bila terealisasi, besar kemungkinan, Palestina akan kehilangan daya tahan dan akan terhapus dari peta dunia dalam waktu dekat. Jangan lupa, kemerdekaan Palestina, adalah janji yang diucapkan oleh para pendiri bangsa ini, dan bangsa-bangsa dunia ketiga lainnya.

Dengan kata lain, bila dilihat dari ugensi isu HAM yang dibawanya, masalah Muslim Uighur masih jauh dari yang dihadapi masyarakat di Yaman dan Palestina. Di mana kedua isu ini saja sangat sulit bagi pemerintah membuat progresifitas dalam responnya. Lantas bagaimana dengan isu pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur, yang kejelasan duduk perkaranya masih simpang siur; urgensi isunya masih dipertanyakan, dan siginifikasi peran Indonesia juga masih belum bisa diharapkan.

Keempat, dan ini yang mungkin perlu dicermati, yaitu resonansi isu HAM Muslim Uighur. Bila melihat dari resonansi isu ini, mengingatkan kita pada isu Suriah yang sempat memanaskan peta politik di Indonesia beberapa tahun lalu. Kita tentu tidak ingin berprasangka buruk pada isu yang berkembang demikian cepat ini.

Namun belajar dari masa lalu, di mana banyak sekali masyarakat yang termakan hoaks tentang perang Suriah sehingga berbondong-bondong pergi ke negeri Syam demi melawan rezim Assad. Pada akhirnya, dunia terbuka matanya ketika terbukti bahwa Assad hanya mempertahankan negaranya dari ancaman pemerontak dan invasi kelompok ISIS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement