Selasa 14 Nov 2023 13:04 WIB

Hipokrisi Para Pejuang HAM Uighur dalam Kasus Palestina

Kemerdekaan Palestina, adalah janji yang diucapkan oleh para pendiri bangsa ini

Free Palestina. Kemerdekaan Palestina masih diperjuangkan hingga sekarang.
Foto:

Amerika yang Bermain?

Jangan lupa kasus HAM Uighur, kembali mencuat ketika dokumen rahasia soal "kamp konsentrasi" Uighur di Xinjiang yang pada 23 November 2019 dibocorkan Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) yang bekerja sama dengan 17 media dari 14 negara. Dokumen ini disebut oleh media barat dengan istilah “China Cable”.

Dalam dokumen ini dijelaskan sejumlah detail tentang perintah para petinggi China terkait sistem, aturan, dan mekanisme yang diatur dalam kamp tersebut. The International Consortium of Investigative Journalist’s (ICIJ) mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah China kepada etnis Uighur di sana, merupakan sebuah penawanan massa tersebesar pasca Perang Dunia II. (https://www.icij.org/investigations/china-cables/watch-china-cables-exposes-chilling-details-of-mass-detention-in-xinjiang/ )

Akan tetapi, berdasarkan artikel pada Historia.id yang ditulis oleh pelajar Indonesia di Tiongkok, yang  secara langsung membaca isi Chine Cable yang dimaksud, menjelaskan bahwa telah terjadi kesalahan media barat dalam membaca isu dokumen itu secara utuh, mulai dari cara penerjemahan hingga pemotongan kalimat. Sehingga tak ayal, terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan dokumen tersebut. (https://historia.id/agama/articles/menelaah-bocoran-dokumen-rahasia-penahanan-uighur-6an7W )  

Puncaknya terjadi ketika DPR AS berhasil mensahkan RUU Hak Asasi Manusia Uighur tahun 2019 dengan suara hampir mutlak pada Selasa malam (03/12/2019) waktu Amerika Serikat. Atas keputusan ini, China mengancam akan mengambil tindakan balasan jika Amerika Serikat (AS) sampai mengundangkan RUU.

Dalam hal ini, pemerintah China tetap bertahan pada posisi, bahwa apa yang mereka lakukan terhadap etnis Uighur, merupakan metode untuk memberantas paham radikalisme, fundamentalisme, dan separatisme. Bagi mereka, tidak ada pelanggaran HAM dalam hal itu.

Dengan kata lain, semua data tentang adanya pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah China terhadap etnis Uighur yang selama ini beredar, tidak bersifat objektif dan spasial. RUU yang dikeluarkan DPR AS, juga lahir dari asumsi yang tidak cukup objektif.

Ditambah lagi, sebelum mengeluarkan RUU tersebut, terjadi hanya beberapa hari setelah AS mengundangkan RUU yang mendukung gerakan protes pro-demokrasi di Hong Kong. Sehingga kuat asumsi, bahwa keluarnya RUU tentang HAM Uighur lebih besar muatan politiknya ketimbang muatan kemanusiaannya.

Terkait dengan DPR AS, RUU HAM Uighur tercatat sebagai UU kesekian yang dikeluarkan secara unilateral. Sebelumnya, mereka juga sudah mengundangkan The Countering America's Adversaries Through Sanctions Act, (CAATSA): yang ditujukan untuk memberi sanksi kepada Iran, Korea Utara, dan oligarki Rusia. Sebelum itu juga AS juga melakukan tindakan unilateral sejak kepemimpinan Donald Trump, mulai dari walk out-nya AS dari konvensi Iklim di Paris; menyatakan secara sepihak status Yerusalem sebagai ibu kota Israel; membatalkan sepihak perjanjian Nuklir Iran; Membatalkan perjanjian dengan Korea Utara; dan memutuskan keluar dari wilayah konflik Suriah.

Dari rangkaian logis di atas, tidak salah bila sebagian pihak ada yang apatis bahkan curiga pada motif kampanye yang dilancarkan oleh World Uyghur Congress di Indonesia. Alih-alih, sangat mungkin mereka adalah perpanjangan tangan dari kepentingan AS, yang memang saat ini sedang memiliki ketegangan tersendiri dengan negara Tiongkok. Wallahualam bi Sawab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement