REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan anak muda maju mencalonkan diri sebagai capres-cawapres. Meskipun belum berusia 40 tahun asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah menimbulkan penilaian yang beragam di mata publik. Terutama mengenai adanya kepentingan politik dari para hakim konstitusi.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai tidak perlu diadakan pansus untuk mendalami dan mengusut kejanggalan-kejanggalan di tubuh MK oleh DPR RI. Pasalnya, hal itu dinilai semakin mempekeruh kondisi karena kepentingan politik yang makin kental.
“Kalau kita kemudian melarikan ini ke DPR saya kira tidak menyelesaikan soal sih. Yang mengangkat atau memilih hakim MK itu DPR, bahkan intervensi atau campur tangan politik melalui DPR itu kan membuat MK menjadi seperti yang kemarin itu (putusan MK soal batas usia capres-cawapres),” kata Lucius saat dihubungi Republika, Selasa (17/10/2023).
Lucius menekankan bahwa pembentukan pansus untuk mengusut hal itu bukanlah jalan yang tepat karena akan semakin membuat MK terbawa dalam pusaran politik. Menurutnya, hal itu juga tidak bagus terjadi saat menjelang pemilihan umum (Pemilu) di saat anggota DPR sedang tidak memikirkan rakyat, melainkan kepentingan masing-masing untuk menang dalam kontestasi politik.
“Lalu karena keputusan kemarin kita mendorong DPR membentuk pansus untuk memproses kemarin itu saya kira akan tambah runyam dan enggak jelas ujungnya. Ini akan semakin menjadi mainan politik,” ungkapnya.
Menurut Lucius, awal terjadinya ‘kerusakan’ di tubuh MK adalah dari proses seleksi hakim konstitusi yang dilakukan oleh legislatif. Secara otomatis, hakim konstitusi pun tersandera oleh kepentingan politik.
“Apalagi belakangan DPR semakin menunjukkan kekuasaan besarnya terhadap hakim konstitusi, mereka bisa memberhentikan lalu mengangkat hakim baru dan di luar prosedur yang seharusnya, itu artinya memang harapan DPR, MK bisa diintervensi, keputusannya bisa dalam tanda petik dimanipulasi,” ungkap dia.