Selasa 17 Oct 2023 14:13 WIB

Kontroversi Putusan MK, Eks Pegawai KPK: Dinasti Politik Rawan Korupsi

Eks pegawai KPK sebut dinasti politik rawan korupsi seiring kontroversi putusan MK.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Suasana sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta. Eks pegawai KPK sebut dinasti politik rawan korupsi seiring kontroversi putusan MK.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta. Eks pegawai KPK sebut dinasti politik rawan korupsi seiring kontroversi putusan MK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks pegawai KPK yang kini tergabung dalam IM57+ Institute mengingatkan betapa bahaya saat dinasti politik langgeng di Indonesia. Dinasti politik dinilai erat kaitannya dengan perilaku korupsi. 

Kritik tersebut disampaikan IM57+ Institute terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berpeluang membuat Wali Kota Solo sekaligus keponakan Ketua MK Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Dinasti politik disebut IM57+ Institute akan membutuhkan dukungan pendanaan untuk melanggengkan kekuasaannya.

Baca Juga

"Hal tersebut dilakukan melalui upaya korupsi yang berkaitan dengan bisnis yang penuh dengan konflik kepentingan. Itulah mengapa secara prinsip dinasti politik harus dilawan," kata Ketua IM57+ Institute Muhammad Praswad Nugraha dalam keterangannya pada Selasa (17/10/2023). 

Praswad menyebut salah satu persoalan mendasar dalam reformasi 98 adalah nepotisme sebagai salah satu manifestasi korupsi. Nepotisme membuat bergesernya nilai demokrasi hingga menjadikan pemilu menjadi formalitas belaka dengan pengisian pejabat publik didasarkan pada ikatan darah. 

"Salah satu bentuk dari nepotisme yang nyata adalah dinasti politik dimana adanya penggunaan pengaruh kekuasaan dalam mengkondisikan agar yang terpilih adalah orang yang memiki ikatan persaudaraan," ujar Praswad. 

Praswad menegaskan pembiaraan proses ini akan memberikan peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang dapat mengakibatkan interfensi antar cabang kekuasaan. Presiden dan pejabat lainnya akan berpotensi mengikuti praktek tersebut untuk melanggengkan kekuasaan bagi keluarganya. 

"Praktek ini akan memukul mundur jauh semangat indepedensi antar cabang kekuasaan yang dibangun pasca reformasi," ujar Praswad. 

Praswad mencontohkan ketika keluarga Presiden kedua RI Soeharto memanfaatkan kekuasaan dalam membagi konsesi yang bersifat ekonomi. Praswad berharap keluarga Jokowi tak mengekor keluarga Suharto dalam hal ini. 

"Ketika dahulu keluarga Soeharto memanfaatkan kekuasaan dalam membagi konsesi yang bersifat ekonomi, jangan sampai pada fase ini, keluarga Jokowi menggunakan kekuasaan dan pengaruh politik untuk membagi konsesi kuasa kepada keluarganya," ujar Praswad. 

Sebelumnya, MK memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10/2023). 

Enam gugatan ditolak. Tapi MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.

Putusan yang pro pencalonan Gibran tetap diketok meski dihujani empat pendapat berbeda atau Dissenting Opinion hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim MK. 

"Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK pada Senin (16/10/2023). 

MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

"Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Anwar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement