Selasa 03 Oct 2023 12:36 WIB

Kemendikbudristek Respons Maraknya Perundungan di Sekolah

Runtutan kekerasan terus terjadi di sekolah, seminggu ini sudah ada tiga kasus.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Gita Amanda
Kemendikbudristek menyatakan akan terus mengambil tindakan tegas terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. (ilustrasi).
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Kemendikbudristek menyatakan akan terus mengambil tindakan tegas terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan akan terus mengambil tindakan tegas terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Upaya itu dilakukan di samping mendorong penguatan implementasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 di daerah.

“Kami di Kemendikbudristek bekerja sama dengan pihak terkait lainnya akan terus mengambil tindakan tegas terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah,” kata Plt Kepala BKHM Kemendikbudristek, Anang Ristanto, kepada Republika,co.id, Selasa (3/10/2023).

Baca Juga

Dia menyampaikan, pemerintah pusat dalam hal ini Kemendikbudristek terus memperkuat upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Itu dilakukan melalui Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) yang baru saja diluncurkan pada 8 Agustus 2023 yang lalu.

 

“Kemendikbudristek juga bekerja sama erat dengan kementerian/lembaga lain seperti Kemendagri, Kemenag, Kemensos, KemenPPPA, dan lembaga negara lainnya dalam menyusun peraturan tersebut,” ujar Anang.

 

Menurut dia, dalam upaya pelaksanaan dan penegakannya, pemerintah pusat juga tetap mendukung otonomi daerah dengan berkolaborasi bersama pemerintah daerah dan dinas terkait. Kerja sama itu utamanya adalah untuk pembentukan Satuan Tugas PPKSP dan berbagai tindakan pencegahan dan penanganan kasus yang terjadi. 

“Sementara itu, tim Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek juga tetap melakukan penanganan laporan-laporan kekerasan di lapangan sesuai dengan mekanisme investigasi dan penerapan sanksi sesuai peraturan yang berlaku,” kata dia.

Anang menjelaskan, Kemendikbudristek juga terus berupaya mendorong diskusi dan penguatan implementasi kebijakan tersebut bersama dengan pemerintah daerah dan dinas di daerah. Dengan begitu, komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, inklusif, menyenangkan, dan bebas dari segala kekerasan dapat diwujudkan bersama-sama.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sejak Januari hingga September 2023 jumlah kasus perundungan di satuan pendidikan mencapai 23 kasus. Dari 23 kasus tersebut, 50 persennya terjadi di jenjang SMP, 23 persen terjadi dijenjang SD, 13,5 persen di jenjang SMA, dan 13,5 persen di jenjang SMK. 

“Jenjang SMP paling banyak terjadi perundungan, baik yang dilakukan peserta didik ke teman sebaya maupun yang dilakukan pendidik,” ujar Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, kepada Republika.co.id, Selasa (3/10/2023).

 

Dia menyampaikan, di antara 23 kasus perundungan itu ada yang sampai memakan korban jiwa. Di mana, terdapat satu siswa SD negeri di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal setelah mendapatkan kekerasan fisik dari teman sebaya dan satu santri MTs di Blitar, Jawa Timur, meninggal dunia seusai mengalami kekerasan dari teman sebaya. Kedua kasus terjadi di lingkungan sekolah.

 

“Ada juga santri yang dibakar oleh teman sebaya sehingga mengalami luka bakar serius. Selain itu, juga tercatat ada dua kasus perundungan dijenjang SD yang diduga menjadi salah satu pemicu korban bunuh diri, meskipun faktor penyebab bunuh diri seseorang tidak pernah tunggal,” kata Heru.

 

Heru mengatakan, dari 23 kasus tercatat ada pendisiplinan dengan kekerasan yang dilakukan guru terkait pelanggaran tata tertib sekolah. Tindak pendisiplinan dengan kekerasan itu, yakni guru memotong rambut 14 siswi karena tidak memaki ciput hingga pitak di depan yang terjadi di SMPN 1 Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur.

 

“Lalu ada kasus guru memotong rambut siswa hanya disisakan rambut samping anak di SMPN 1 Sianjur Mula Mula di Samosir, Sumatra Utara. Hal tersebut (pendisiplinan dengan kekerasan) berdampak pada anak korban yang merasa dipermalukan dan mengalami kekerasan psikis,” kata dia.

 

Beberapa waktu belakangan laporan kejadian kekerasan di sekolahan maupun yang dilakukan siswa-siswi sekolah terus bermunculan. Hal ini memunculkan pertanyaan soal langkah Kemendikbudristek yang menjanjikan penanganan atas hal tersebut.

 

"Runtutan kekerasan terus terjadi di sekolah, seminggu ini sudah ada tiga kasus. Seakan kekerasan tak dapat disetop, lagi-lagi siswa dan guru jadi korban, alarm keras bagi pendidikan nasional," ujar Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, kepada Republika.co.id, Rabu (27/9/2023).

 

Menurut dia, Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) pada Agustus 2023 lalu digadang-gadang mampu mencegah terjadi kekerasan di sekolah. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya.

 

Data Rapor Pendidikan yang baru dirilis Kemendikbudristek pun mengemukakan, indikator iklim keamanan sekolah tengah menurun. Penurunan tiga poin untuk jenjang SMP yang semula 68,25, tapi sekarang 65,29. Lalu, penurunan drastis lima poin jenjang SMA, semula 71,96 tapi sekarang 66,87. "Permendikbudristek PPKSP seolah macan kertas, galak di tulisan, tapi lemah dalam implementasi di sekolah," kata Satriwan.

 

P2G pun menilai Permendikbudristek PPKSP belum disosialisasikan optimal oleh Kemdikbudristek dan Dinas Pendidikan sampai ke level pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, dan siswa. "Permendikbud PPKSP belum mampu mencegah dan menanggulangi kekerasan di sekolah. Sangat disayangkan sekolah belum menyadari adanya aturan ini," ujar Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement