Rabu 27 Sep 2023 13:45 WIB

Geopolitik dan Multiblokisme

Dinamika geopolitik dunia selama tiga tahun pertama 2020an memang tak biasa.

I Gede Wahyu Wicaksana, Guru Besar Hubungan Internasional FISIP UNAIR Surabaya.
Foto: UNAIR
I Gede Wahyu Wicaksana, Guru Besar Hubungan Internasional FISIP UNAIR Surabaya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh I Gede Wahyu Wicaksana, Guru Besar Hubungan Internasional FISIP UNAIR Surabaya. 

Dinamika geopolitik dunia selama tiga tahun pertama 2020-an memang tak biasa. Mulai dari pandemi Covid-19 hingga perang di Ukraina mengguncang tatanan internasional. Eropa dilanda krisis ekonomi berkepanjangan yang pada gilirannya berdampak ke arena politik. Ternyata demokrasi mapan disertai kemajuan sains dan teknologi yang menopang peradaban modern Barat tidak setangguh seperti prediksi Francis Fukuyama tentang “the end of history and the last man” bahwa kapitalisme akan lebih unggul dari ideologi manapun. 

Baca Juga

Faktanya berkebalikan. Justru di belahan Bumi bagian selatan di mana mayoritas negara berkembang tidak mempraktikkan demokrasi liberal, mereka lebih cepat pulih dari krisis dan tidak terpengaruh signifikan oleh efek destruktif konflik Rusia-Ukraina. Sebagai ilustrasi, misalnya di Asia, India dan China yang sempat jadi objek keprihatinan masyarakat global karena manajemen kesehatan publik yang buruk saat melawan virus corona, alih-alih terpuruk, bangkit dan semakin eksis sebagai adidaya baru di kawasan Indo-Pasifik. Terbukti dengan indikator seperti pertumbuhan ekonomi India dan China selama kurun 2022 sampai pertengahan 2023 yang meningkat rata-rata lima persen per-quartal, sementara perekonomian Eropa dan Amerika Utara masih tertatih-tatih di kisaran 1-1,5 persen. 

Satu fakta lain yang juga mengejutkan ialah Rusia yang didera berbagai jenis sanksi ekonomi dan pengucilan politik oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO akibat operasi militer di Ukraina tidak kunjung bangkrut. Bahkan rezim Kremlin pimpinan Presiden Vladimir Putin terus bertahan dan tidak bergeming menghadapi tekanan Barat.

Barangkali penyebab Rusia bisa selamat dari hantaman poros anti-Putin ialah 85 persen Negara Berkembang dari Afrika sampai Oceania tidak sungguh-sungguh menjatuhkan sanksi kepada Moskow. Berarti pula, terdapat ketidaksetujuan dan pembangkangan terhadap kebijakan Baratsentris di bawah arahan Washington. 

Penolakan mayoritas bangsa di dunia untuk menghukum Putin mendemonstrasikan sebuah fenomena menarik sekaligus bisa ditafsirkan sebagai kehadiran tatanan geopolitik baru yang tidak bersumbu pada kapabilitas militer semata, melainkan aktualisasi identitas dan norma. Sebutlah multiblokisme. 

Bebrapa kalangan pengamat dan akademisi hubungan internnsional berpendapat sikap serentak hampir 150 pemerintah berdaulat untuk mengabaikan sanksi terhadap Rusia merupakan cerminan perilaku nonblok yang sudah berlangsung puluhan tahun sejak Perang Dingin abad lalu. Opsi nonblok diambil sebagai bentuk ekspresi politik negara-negara berkembang yang kecewa dengan kemunafikan dan kerakusan Barat.

Sentimen anti-Amerika berbaur dengan nasionalisme lokal memperkeras posisi nonblok. Kebetulan perang di Ukraina menghadapkan Barat dengan Rusia secara frontal. Karena itu, Negara-negara Berkembang balas dendam kepada Barat dengan mendukung Rusia secara tidak langsung. 

Ada benarnya juga pandangan tentang motif nonblok tersebut. Tetapi, bila ditelaah lebih mendalam, sebenarnya sikap nonblok sudah bergeser menuju multiblok. Artinya, di permukaan terlihat seperti ketidakberpihakan, padahal dari segi substansi terdapat agenda multilateralisme yang solid. Nonblok itu pasif, sedangkan yang ditunjukkan oleh negara-negara berkembang sebagai tindakan multiblok aktif dan transformatif. 

Lebih konkret untuk menggambarkan multiblokisme, mari kita lihat bagaimana India meroket ke panggung geopolitik dan geoekonomi dunia setelah sistem bipolar Barat vs Timur runtuh awal 1990-an. 

Sebelumnya India adalah penganut nonblok, resisten terhadap Amerika Serikat dan berkonflik dengan China. Namun, ketika patron militer India yakni Uni Soviet bubar, New Delhi menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi berdiri netral di tepian sebagai nonblok, sedangkan China sudah lebih dahulu mengubah diri dari komunis murni menjadi sosialis dengan ekonomi pasar.

India menerima uluran tangan sahabat lama Rusia untuk membentuk kemitraan trilateral bersama China, disebut Russia-India-China (RIC). Lambat laun RIC berkembang dan mengajak rising star lain seperti Brasil dan Afrika Selatan ke dalam wadah BRICS. New Delhi pun menyambut baik tawaran kerja sama keamanan Shanghai Cooperation Organization (SCO), dan kini melaju bareng China dan Rusia. 

Bayangkan saja, betapa besar dan kuat profil serta pengaruh diplomatik ketiga raksasa ekonomi dan militer bergabung dalam RIC, BRICS dan SCO. Wajarlah bila Rusia survive, India dan China kian berkibar. Tidak kurang dari 20 organisasi internasional paling berpengaruh di dunia telah dibentuk lewat praktik multiblok India, menghantarkan Negeri Gajah itu masuk tiga aktor terkuat Asia, setelah China dan Jepang, serta lima besar Indo-Pasifik dimana Amerika Serikat dan Rusia turut berkiprah. 

Sedikit refleksi buat Indonesia dari perkembangan geopolitik dan tren multiblokisme yang sedang marak, apakah kita akan terus-terusan nonblok? Tidakkah kebijakan luar negeri yang selama ini lebih condong buat “main aman” dan pasif, demi mempertahankan zona nyaman, perlu ditinjau ulang? 

Sikap Indonesia selalu tidak jelas, mengambang di antara berbagai kutub kekuatan baru yang semakin multipolar di Indo-Pasifik. Pemerintah tidak mau mengambil posisi pasti; kanan atau kiri, barat atau timur, pokoknya tengah-tengah dan netral. Jadinya, Indonesia melulu bermain di level normatif, berperan sebagai aktor cadangan, dan paling-paling berkontribusi hanya dalam tataran operasi penjagaan perdamain saat konflik berakhir.

Sebagai mediatorpun sebatas menawarkan solusi, bukan menekankan jalan keluar. Mengapa begitu? Karena Negara nonblok tidak boleh ikut campur terlampau jauh ke dalam urusan pihak-pihak yang berseteru. Hasil KTT G20 dan inisiatif damai Rusia-Ukraina Indonesia adalah catatan ketidakrelevanan nonblok di pusaran geopolitik terkini. 

Andaikan Indonesia mau dan mampu seperti India, me-redefinisi kebijakan luar negeri menjadi multiblok, lalu membentuk lembaga multilateral sekaliber RIC, BRICS, dan SCO, ceritanya tentu akan berbeda. Setidaknya label pemain pinggiran tidak akan disematkan lagi kepada awak diplomasi kita. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement