REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Subdit Cyber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menyebut korban bunuh diri yang diduga akibat tejerat pinjaman online (pinjol) berdomisili di Baturaja, Sumatra Selatan. Hal itu diketahui setelah Tim Subdit Cyber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya berkomunikasi dengan admin akun di Twitter yang mengunggah informasi korban pinjol.
"Bahwa admin mendapatkan informasi dari teman sepupu dari korban yang meninggal bunuh diri dimaksud mas dan selanjutnya admin meng-upload unggahan tersebut di akun Twitter admin," ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak, saat dikonfirmasi awak media, Kamis (21/9/2023).
Dari informasi tersebut, kata Ade Safri, diketahui bahwa korban yang meninggal bunuh diri tersebut berdomisili di Baturaja, Provinsi Sumatra Selatan. Kemudian pihaknya juga telah menyarankan kepada admin untuk menyampaikan kepada keluarga korban agar melaporkan dugaan tindak pidana yang terjadi ke kantor Kepolisian terdekat.
Tentu saja, kata Ade Safri, laporan ini dalam rangka efektivitas dan efisiensi kegiatan penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana. Salain itu, pihak kepolisian juga menjamin akan profesional dan akuntable dalam ungkap kasus dimaksud.
"Apabila dugaan tindak pidana yg dilaporkan tersebut nantinya dalam penyelidikan ditemukan peristiwa pidananya," tutur Ade Safri.
Diberitakan Republika.co.id sebelumnya, melalui media sosial Twitter, akun @rakyatvspinjol pada 17 September 2023 membagikan thread mengenai adanya pengguna pinjol AdaKami yang bunuh diri akibat penagihan yang tidak wajar. Akun tersebut membagikan tangkapan layar dari masyarakat mengadukan melalui Instagram yang menguatkannya langsung kepada akun @poldametrojaya.
Akun tersebut menceritakan keluarganya bunuh diri akibat tidak mampu membayar pinjaman di AdaKami. Teror hingga berakhir kepada pemecatan pekerjaan membuat keluarganya terpuruk.
Lalu akun @rakyatvspinjol menceritakan, korban tersebut meminjam kepada AdaKami sebesar Rp 9,4 juta dan harus mengembalikan pinjaman hingga hampir Rp 19 juta. Saat korban telat membayar, teror mulai diterima hingga berujung pemecatan dari tempat bekerja karena debt collector terus menghubungi kantor tempat korban bekerja.
Tak hanya itu, order fiktif antar makanan kerap berdatangan setiap hari. Hingga, akhirnya korban tersebut melakukan bunuh diri dengan adanya teror berkepanjangan tersebut.