REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, melihat kebakaran-kebakaran yang terjadi secara lokal tak begitu berkaitan dengan cuaca akibat El Nino saat ini. Menurut dia, hal itu berbeda dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan area kebakaran yang luas yang memang biasa terjadi akibat minimnya kandungan air tanah.
“Ada yang kondisi lokal setempat, tapi ada juga yang bukan lokal. Kaya TPS (tempat pembuangan sampah) itu kan lokal setempat ya. Karena nggak semua TPS kebakaran toh? Tapi kalau karhutla, se-Kalimantan Selatan, di Sumatra Selatan (contohnya),” ujar Eddy kepada Republika, Selasa (19/9/2023).
Eddy menjelaskan, ketika kebakaran terjadi secara terlokalisasi, biasanya terdapat unsur kemanusiaan sebagai penyebab kebakaran. Ada faktor cuaca, tapi sebatas karena tak ada hujan yang membantu memadamkan api. Berbeda dengan kebakaran yang biasanya terjadi di area yang besar, yang biasa terjadi karena faktor cuaca yang sedang tidak kondusif.
“Intinya, kalau yang terbakar itu biasanya kawasan yang miskin dengan kandungan air tanah, yaitu karena tidak menerima input atau masukan air hujan,” kata dia.
Dia pun menjelaskan, kebakaran-kebakaran yang terjadi akibat cuaca juga biasanya dapat terlihat dari hotspot atau titik-titik panas yang terekam oleh satelit. Kasus-kasus kebakaran di TPS, Gunung Bromo, dan di Gunung Gede Pangrango, kata dia, tidak akan terpantau oleh satelit karena area yang terbakar tak cukup luas untuk dapat terlihat satelit
Di samping itu, Eddy juga mengatakan, ada penyebab lain kebakaran yang diakibatkan oleh cuaca selain kandungan air tanah yang minim. Penyebab lain itu, yakni kawasan tersebut berada di lingkungan yang sudah mengalami kerusakan. Kondisi kerusakan yang membuat tanah tidak punya kemampuan untuk menyimpan air karena gundul.
“Kerusakan itu, ketika hujan tanah itu tidak punya kemampuan untuk menyimpan (air) akibat bagian di atasnya itu udah mulai proses penggundulan. Sehingga dia gapunya lagi daya untuk menyimpan,” terang Eddy.
Sebab itu, dia menuturkan, manusia semestinya bisa memahami kondisi alam. Sebagai contoh, ketika terjadi kemarau panjang, jangan sekali-kali mencoba bermain api jika memang tidak ingin terjadi kebakaran. Dia mengatakan, dengan memahami alam, manusia dapat mencoba beradaptasi dengannya.