REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti yang juga dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Gabriel Lele, menjelaskan tak ada satu pun di dunia yang ibu kota negaranya bersifat otorita. Namun, ia mencoba untuk memahami politik hukum Indonesia yang berusaha membuat sesuatu yang lain dalam revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN).
Namun, IKN yang dijalankan oleh pemerintahan daerah khusus yang disebut otorita bisa bermasalah di masa depan. Karena, ia melihat belum adanya aturan terkait transisi terkait IKN yang bersifat pemerintah daerah khusus yang setingkat pemerintah provinsi dan kepala otorita yang sejajar dengan menteri.
"Saya coba membaca mungkin secara psikologis dalam proses pembahasan ini kita mencampurkan dua hal yang sebenarnya kalau didiagnosis itu berbeda. Satu yang sifatnya trasisional, yang satu sifatnya permanen, tetapi kemudian kedua hal itu dilebur," ujar Gabriel dalam rapat panitia kerja (Panja) revisi UU IKN, Senin (18/9/2023).
"Sehingga desain yang seharusnya transisional diberlakukan sebagai desain yang permanen, dan menurut saya itu agak bermasalah," sambungnya.
Keistimewaan tersebut justru menimbulkan pertanyaan baru karena Ibu Kota Nusantara (IKN) tak bisa sepenuhnya disebut otorita ataupun pemerintahan daerah sebab adanya aturan kekhususan tersebut dalam UU IKN saat ini.
Ia pun mengusulkan agar otorita diubah menjadi layaknya sebuah badan atau lembaga yang setingkat menteri, bukan lagi pemerintahan daerah khusus. Misalnya ia contohkan, menjadi Badan Percepatan, Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan Ibu Kota Negara (BP4IKN).
Setelah itu, pemerintah bersama DPR perlu merumuskan lebih detail terkait aturan transisi dari badan ke penyelenggaran IKN. Sebab, BP4IKN tersebut akan berubah menjadi bentuk lembaga khusus yang akan fokus menjalankan pemerintahan IKS setelah pembangunan dan pemindahannya.
"Nah, bayangan saya, penyelenggaraan itu lalu kita fungsikan murni sebagai pemerintah daerah, bukan lagi sebagai otorita atau badan tadi," ujar Gabriel.