Selasa 05 Sep 2023 13:20 WIB

Perlukah Siswa SMA Diajarkan Filsafat demi Bernalar Kritis?

Benarkah pelajaran filsafat membuat anak sekolah berpikir kritis?

Ibnu Arabi, sufi besar yang kontroversial, tapi diminati.
Foto:

Lepas dari pembedaan istilah filsuf dan pemikir, para pengajar filsafat di Indonesia harus disalahkan ketika mereka menyodorkan filsafat dengan cara kerja ahli sejarah. Membahas tokoh-tokoh filsafat dari masa ke masa untuk menjadi hapalan baru bagi para pelajar. 

Ini tidak berarti, sejarah filsafat tak perlu diajarkan. Sejarah tokoh filsafat penting diajarkan, tetapi mestinya setelah bangunan penalaran khas filsafat berhasil diinstal ke dalam mental para pembelajar. Penalaran khas filsafat itu, seperti logis, kritis, dan radikal dalam makna sebenarnya. 

Lebih kurang, filsafat mestinya diajarkan seperti matematika. Para pelajar dituntut menguasai penalaran matematis, bukan menghapal tokoh-tokoh matematika. Memecahkan problem-problem matematika dengan konstruksi penalaran khas matematik lebih penting daripada memperkenalkan nama-nama tokoh dalam matematika dari masa ke masa.

Begitulah harusnya pengajaran filsafat terjadi. Dengan modal penalaran filsafat yang telah fungsional dalam mental para pembelajar, cerita tokoh-tokoh filsafat di masa lalu dapat diajarkan kemudian sambil menguliti pikiran-pikiran mereka dan memberi kritikan dari sudut penalaran filsafat terkini. 

Jika tidak demikian, kita tidak dapat membedakan antara belajar filsafat atau belajar sejarah (tokoh-tokoh filsafat di masa lalu). Belajar sejarah filsafat melahirkan hapalan data, tidak dapat mencapai tujuan dasar belajar filsafat untuk pembentukan nalar logis, kritis, dan radikal.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement