Selasa 05 Sep 2023 13:20 WIB

Perlukah Siswa SMA Diajarkan Filsafat demi Bernalar Kritis?

Benarkah pelajaran filsafat membuat anak sekolah berpikir kritis?

Ibnu Arabi, sufi besar yang kontroversial, tapi diminati.
Foto:

Sangat mungkin, pelajar dan pengajar filsafat di bagian lain Indonesia lebih beruntung. Tidak menjadi pelaku dan korban malpraktik proses pembelajaran filsafat. Di sini, saya ingin mengulas dua kesalahan terpenting dalam tradisi pengajaran filsafat di Indonesia.     

Kesalahan pertama, filsafat diajarkan seperti ilmu sejarah pemikiran. Para pelajar disuguhkan cerita-cerita masa lalu, tentang Yunani kuno lebih 2000 tahun lalu. Bersambung ke cerita abad pertengahan. Umumnya berisi cerita filsafat Barat dan filsafat Islam Timur Tengah. Belakangan, mulai ada tradisi beberapa orang mengelaborasi pikiran-pikiran filosofis timur dari bagian Asia lainnya. Tradisi dari India dan Cina. 

Kisah filsafat kemudian dilengkapi cerita babak filsafat modern dan kontemporer, berisi dominasi pikiran orang-orang Barat. Di kampus-kampus Islam, penceritaan filsafat modern dan kontemporer kehilangan perbandingan yang seimbang, antara narasi Barat dan Timur Tengah. 

Karena sekian lama, ada anggapan filsuf Muslim terakhir adalah Ibnu Rusyd yang hidup di abad-12. Baru dalam dua dekade belakangan, mulai banyak yang membicarakan filsafat Islam pasca Rusyd. Seperti  filsafat Teosofi Mulla Sadra, Isyraqiah Suhrawardi Al-Maqtul, dan Irfani Ibnu Arabi. 

Mulla Sadra yang hidup di abad 16-17, dianggap filsuf terakhir Timteng yang berpengaruh di dunia Islam. Sehingga dalam penceritaan filsafat kontemporer, tersisa cerita-cerita filsuf posmodernisme Barat. Ada anggapan umum, pasca era modernisme, dunia Islam hanya memproduksi banyak pemikir besar, tapi tidak lagi memproduksi filsuf yang bisa disetarakan dengan Michel Foucault, Jacques Derrida, Hans-Georg Gadamer, dan Jurgen Habermas. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement