Rabu 23 Aug 2023 17:44 WIB

Komisi I DPR Tegaskan Hapus Pasal Karet dalam Revisi UU ITE

Tujuan utama revisi UU ITE adalah menghapus pasal-pasal multitafsir.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari menegaskan penghapusan pasal-pasal karet dalam proses pembahasan revisi UU ITE, di Ruang Rapat Komisi I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Foto: Republika/ Nawir Arsyad Akbar
Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari menegaskan penghapusan pasal-pasal karet dalam proses pembahasan revisi UU ITE, di Ruang Rapat Komisi I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (23/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi I DPR memiliki semangat untuk menyempurnakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam proses revisi yang saat ini tengah berjalan. Tujuan utamanya adalah untuk menghapus pasal-pasal "karet" untuk ke depannya mencegah multitafsir.

"Jadi semangat kita pasti ingin menghilangkan pasal karet, kita ubah normanya, sehingga tidak jadi karet lagi. Ini perlu saya speak di awal ya, karena ada yang menganggap "ohh DPR mempertahankan pasar karet" nggak ada DPR yang mau mempertahankan pasal karet," ujar Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) pembahasan revisi UU ITE, Rabu (23/8/2023).

Baca Juga

Jelasnya, Komisi I tentu malu jika revisi keduanya justru kembali menghadirkan pasal karet dan multitafsir. Padahal latar belakang utama revisi UU ITE kali ini adalah adanya desakan masyarakat terkait penggunaan yang salah dari payung hukum tersebut.

"Kalau maunya semua sepakat membikin undang-undang yang paling sempurna dalam revisi ini, saya perlu sampaikan bahwa undang-undang ini direvisi latar belakangnya adalah munculnya pasal karet dalam tanda kutip," ujar Kharis.

Diketahui, terdapat tujuh poin revisi UU ITE yang diusulkan oleh pemerintah. Pertama adalah perubahan terhadap ketentuan Ayat 1, Ayat 3, dan Ayat 4 Pasal 27 mengenai kesusilaan, penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan, dan/atau pengancaman. Ayat-ayat dalam Pasal 27 tersebut akan merujuk kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Poin kedua adalah perubahan ketentuan Pasal 28, sehingga hanya mengatur ketentuan mengenai berita bohong atau informasi menyesatkan yang menyebabkan kerugian materiil konsumen. Ketiga, penambahan ketentuan Pasal 28a di antara Pasal 28 dan Pasal 29 mengenai ketentuan SARA dan pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat.

Empat, perubahan ketentuan penjelasan Pasal 29 mengenai perundungan atau cyber bullying. Selanjutnya, perubahan ketentuan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.

Poin keenam, perubahan ketentuan Pasal 36 dalam UU ITE mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain. Terakhir, perubahan ketentuan Pasal 45a terkait pidana atas pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan yang menimbulkan keonaran di masyarakat.

"Kita ingin undang-undang ini lamanya revisi harus menjadi lebih baik, menjadi lebih baik itu artinya menghindarkan dari kesalahan penerapan (UU ITE)," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

photo
Kasus-kasus terkait UU ITE yang menarik perhatian publik - (Republika)

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement