REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi hukum Senior Agus Widjajanto mengatakan bahwa reformasi birokrasi dalam rangka good governance merupakan jalan dan upaya mencapai negara dalam kondisi stabil, tranparance, untuk mencapai cita-cita nasional sesuai amanat konstitusi dalam UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945.
Di sisi lain, kata dia, gerakan reformasi yang dilakukan oleh para elit politik dan mahasiswa beberapa puluh tahun lalu yang bertujuan menumbangkan Pemerintahan Orde Baru menurutnya telah gagal mengemban dan melaksanakan amanah Rakyat. "Setelah Pemerintah Orde Baru tumbang ternyata hingga hari ini arah dan tujuan reformasi itu sendiri masih kabur, bahkan telah kehilangan momentum," tegas Agus Widjajanto dalam keterangan persnya, Rabu (17/8/2023).
Ia mengungkapkan, kekacauan di berbagai bidang, baik politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya selalu terjadi berulang. Momentum atau kesempatan emas untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan, maupun secara administrasi negara guna menghindari terjadinya kekacauan agar tidak terus berulang justru tidak bisa berbuat banyak.
Agus menyinggung bagaimana krisis kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum karena putusan pengadilan yang dianggap aneh, penyidikan yang sebetulnya masuk ranah keperdataan, bebasnya hakim agung dalam kasus KPK, putusan tingkat kasasi yang mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup terhadap Kasus FS.
Kemudian pengurangan setengah hukuman terhadap istri FS (PC), penangkapan OTT yang dinilai pihak-pihak tertentu hanya pencitraan lembaga Rasuah pemberantasan korupsi hingga puluhan kasus-kasus lainya. "Reformasi seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki diri, tapi nyatanya justru terulang dan terus berulang berbagai kejadian yang menunjukan kebrobrokan mental aparat hukum itu sendiri. Belum pernah terjadi krisis multidimensi seperti saat ini saat Orde Baru berkuasa," bebernya.
Jebolan Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu menyatakan jika krisis multidemensi yang berlarut-larut menyerupai lingkaran setan (vicious crises). Dengan kata lain, krisis yang berlangsung dalam kurun waktu begitu panjang dan dimensinya saling berkaitan ini tidak mudah ditentukan ujung pangkalnya.
Jika diurai, lingkaran setan ini mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan bangsa dan bahkan mencapai tingkat yang paling mengerikan yakni terjadinya krisis kemanusiaan. Agus Widjajanto menyebutkan beberapa krisis multidimensi dimaksud.
Pertama, Krisis Moral dan Etika (etichal crisis). Hal ini terjadi adanya krisis moral dan etika dilingkungan para elit politik , pejabat, informal, yang mana para ilmuwan budayawan tidak berani menyuarakan kebenaran justru melakukan pembenaran atas krisis tersebut.
Kedua Krisis Hukum. Ini adalah akibat langsung dari krisis moral elite tersebut yang melahirkan para penegak hukum hanya berorientasi bisnis. Dimana law enforcement tidak jalan yang menimbulkan efek serius bagi bangsa.
Ketiga Krisis Moneter. Pada awalnya krisis ini melanda diluar kawasan namun dengan kondisi negeri ini yang sangat lemah fondasi ekonomi yang ditopang dengan hutang luar negeri yang merupakan dampak dari krisis moral etika dan krisis hukum maka berakibat terjadinya krisis moneter .
Keempat Krisis Ekonomi. Ini akibat dari krisis multidimensi diatas, tiada moral dan etika, krisis hukum dan moneter, berakibat harga melambung tinggi baik BBM walau pun harga minyak international turun dan berakibat naik nya kebutuhan pokok serta kurs dolar yang semakin naik. Ditambah lagi dengan ancaman krisis global yang mana pondasi ekonomi negara ditopang dari hutang luar negeri berakibat krisis ekonomi .
Kelima Krisis Kepercayaan Antar Elite. Hampir tidak ada rasa percaya antar elite yang paling parah sasaran dalam krisis ini adalah pemerintah , yang mana karena krisis diatas , lalu menimbulkan kirisus berikut nya
Keenam Krisis Poltik. Karena krisis kepercayaan dan saling menyalahkan antara elite yang satu dengan yang lain, maka timbul krisis politik , bukan hanya elit dengan elite tapi antar masyarakat sendiri terjadi krisis kepercayaan .
Ketujuh Krisis Kemanusiaan. Bentrokan antar fisik akibat beda dalam suara politik dan menebar politik identitas pada agama tertentu berakibat adanya saling terjadi gab antar masyarakat pada pemilu lalu, Politik identitas juga menyebabkan kejahatan kemanusiaan karena adanya penggiringan opini publik untuk mencari pembenaran sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan Bangsa dan Negara.
Dalam penilaian Agus Widjajanto, krisis-krisis tersebut terjadi akibat terlampau terburu-buru dalam menyikapi masalah dan korban dari permainan antar elit bangsa dikung kontra inteljen asing yang tidak ingin Bangsa ini maju, hingga melahirkan reformasi yang dianggap bisa merubah keadaan lebih baik seperti membalik telapak tangan. Yakni dengan membayangkan serta berharap ekspektasi yang terlampau tinggi seolah setelah tumbangnya Orde Baru semuanya akan lebih baik.
Pada gilirannya, tingginya ekspektasi dilalui dengan mengubah dan melakukan amandemen UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 hingga beberapa kali yang berakibat berubahnya sistem ketatanegaraan yang justru menimbulkan krisis baru berupa krisis multi dimensi.
"Ibarat Tertidur panjang, maka mari bangunlah dari mimpi, kita kembalikan pada Sistem Demokrasi dan Moral sesuai bangsa kita sendiri agar tidak lagi kehilangan jati diri Indonesia," pungkas Agus Widjajanto.