Kamis 10 Aug 2023 13:02 WIB

Jika Kita Diam Jakarta akan Tenggelam

Pencemaran di Jakarta tidak hanya pada pencemaran udaranya, namun juga pencemaran air

Hasil penelitian yang di-publish Geophysical Research Letters Maret 2023 lalu menyatakan Jakarta berada di urutan ke-3 setelah Tianjin, China dan Semarang, kota di dunia yang akan paling cepat tenggelam.
Foto:

Menggaungkan Spiritual Ekologi

Pencemaran air di Jakarta sebagai besar disebabkan oleh aktivitas industri yang berjalan tanpa memperhitungkan potensi pencemaran dan kerusakan lingkungan. Industri yang berjalan dalam roda kapitalisme menjadi penyebab permasalahan struktural seperti yang dirasakan oleh warga pesisir kelas menengah ke bawah Jakarta. Bila tak kunjung ada intervensi khusus, maka bukan tidak mungkin warga Jakarta akan menghadapi kenyataan seperti yang dikatakan Biden.

Pada akhirnya, semua pihak telah berupaya melakukan perubahan, mulai dari pemerintah Jakarta dalam tiga tahun terakhir ini, telah melakukan beberapa upaya membenahi permasalahan tersebut, di antaranya, menambah water treatment plant dan SPAM, menurunkan kebocoran air melalui rehabilitasi, perbaikan layanan dan distribusi perpipaan, mencegah jaringan pipa illegal, material replacement, serta penghematan air dengan memindahkan air tanah ke air minum perpipaan, serta edukasi warga tentang penghematan air.

Akan tetapi, meskipun telah dilakukan upaya pembenahan, namun apalah arti perubahan jika tidak diselesaikan dari akarnya, dan hal itu dapat dimulai dari pertanyaan, “Mengapa manusia terus-menerus mengeksploitasi alam demi mempercanggih hidupnya sendiri?”. Pandangan antroposentris yang selama ini masih kita junjung adalah akar dari kerusakan alam dan pencemaran air.

Dilihat dari perspektif Fiqih Lingkungan, Prof KH Ali Yafie menjelaskan air (al-ma') menempati kedudukan sangat penting dalam kehidupan dan alam sangat berkepentingan dengan air. Didukung dengan kenyataan bahwa tiga perempat dari isi bumi yang kita huni adalah air.  

Islam menempatkan air bukan sekadar minuman bersih dan sehat yang dibutuhkan semua mahluk hidup (QS. Al Hijr [15]: 22). Lebih dari itu, air menjadi sumber dijadikannya segala sesuatu yang hidup (QS. Al-Anbiya [21]: 30).

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, memberikan pandangannya atas cara pandang antroposentris manusia melihat alam, dalam sebuah cara pandang yang disebut spiritual ekologi, yang saya kutip di sini: "Gagasan spiritual ekologi memposisikan agama sebagai kendaraan spiritual umat manusia dalam memandang alam, lingkungan hidup dalam perspektif spiritualitasnya. Artinya manusia tidak hanya melihat alam sebagai objek eksploitasi tapi juga harus bertanggung jawab memelihara serta merawat demi kemaslahatan bersama."

Spiritual ekologi pada dasarnya mengacu pada tiga prinsip. Pertama, produksi dan konsumsi secukupnya sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedua, pembangunan harus mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem alam (tumbuhan dan satwa). Ketiga, menyadari bahwa tugas manusia adalah menjaga keselarasan & keseimbangan ekosistem secara mutlak, karena posisi manusia sebagai khalifah fil 'ardl, yang akan diminta pertanggungjawaban atas segala tindakannya di dunia maupun akhirat  perlu kita gemakan semakin besar, hingga ke seluruh penjuru kalangan.

Tanggung Jawab LPBI NU untuk mengoptimalkan peran agama dalam mitigasi bencana dan perubahan iklim, termasuk krisis air sebagai sumber kehidupan. Melanjutkan gagasan Gus Yahya dalam forum Religion Twenty 2022 lalu. "Memanfaatkan kearifan ekologi spiritual yang tertanam dalam tradisi keagamaan dunia untuk memastikan lingkungan alam, termasuk unsur bumi, udara, dan air, dihormati dan dilestarikan." Komunike Religion Twenty point VI. Belum ada kata terlambat untuk memulai perubahan, mulai bergerak sekarang, hari ini, detik ini!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement