REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menanggapi Panji Gumilang yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan penistaan agama. Tigor memandang masih ada perbedaan pendapat antarpakar agama Islam terkait penodaan agama yang dilakukan Panji Gumilang.
"Dalam kasus PG, ada silang pendapat di antara ahli agama dan akademisi Islam apakah PG melakukan penodaan agama atau tidak. Jangan sampai perbedaan tafsir yang lumrah terjadi dalam khasanah Islam menjadi terancam," kata Tigor kepada Republika, Rabu (2/8/2023).
Tigor menyebut Komisi HAM PBB sudah lama mendesak agar negara anggotanya menghapus pasal penodaan agama dari hukum nasional. Tigor meyakini pasal penodaan agama bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum HAM internasional. "Karena acapkali digunakan untuk mempersekusi orang dan komunitas yang berbeda tafsir keagamaan," kata Tigor.
Dalam perspektif HAM, Tigor menyebut yang perlu dilindungi oleh negara adalah orang per orang dengan keyakinannya bukan agama yang dilindungi. Sehingga ada yang mengusulkan lebih tepat penggunaan terminologi "religious hatred" atau "kebencian berdasarkan agama".
"Yakni mempersekusi orang atau komunitas karena kebencian terhadap orang yang menganut agama tertentu. Tapi sekali lagi obyeknya pada orang bukan agamanya," ujar Tigor.
Tigor juga mengamati prinsip ini sebenarnya sudah diadopsi dalam KUHP Indonesia yang baru saja diresmikan. Namun KUHP itu baru berlaku dan menjadi hukum positif tiga tahun ke depan.
"Meski masih berlaku 3 tahun lagi seharusnya ini menjadi pedoman bagi penegak hukum, bukan mengacu pada UU penodaan agama dan UU ITE yang bertentangan dengan negara demokrasi modern," ucap Tigor.
Diketahui, Panji Gumilang ditersangkakan dengan pasal berlapis, yakni Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dimana ancamannya 10 tahun.
Selanjutnya, Pasal 45 a ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman enam tahun dan pasal 156 a KUHP dengan ancaman lima tahun.